Kini hanya suaranya yang semakin melemah yang terdengar.
Ia masih duduk dengan merangkul kedua lututnya.
Rambut coklatnya menari bersama dengan angin yang berhembus
perlahan.
Ia sendirian di padang itu, di padang hijau dengan pohon oak
di tengahnya.
Tempat itu, tempat penuh dengan kenangan.
Mungkin pohon oak yang tetap setia berdiri disitu pun tahu
bahwa lelaki itu kini sendirian.
Tak ada lagi tawa renyah dari orang yang selalu bersamanya.
Angin menerbangkan beberapa helai daunnya yang menguning.
Mengalunkan kesunyian yang mendalam. Menyanyikan sebuah lagu
duka yang tak akan pernah ada obatnya.
Lelaki itu masih berada di dalam dunianya yang kini terasa
semakin dingin.
Senandung kebahagiaan yang hampir setiap hari ia mainkan
bersama sahabatnya itu kini hanya akan menjadi sebuah kenangan, sebuah piringan
hitam masa lalu yang tersimpan dan akan di putarnya bila ia sendiri.
Dan kini ia akan memutar piringan kenangan itu sendiri.
Mendengarkan lagu yang malah membuatnya menangis
sejadi-jadinya.
Takdir yang bersalah, ia menyalahkannya.
Kenapa kau pertemukan kami, hingga terjadilah sebuah ikatan
yang tak bisa orang putuskan dengan mudahnya.
Hingga, kau putuskan begitu saja, apa yang sebenarnya kau
pikirkan.
Suara hatinya menjerit tertahan.
Ia pun berdiri, mengumpulkan setiap atom kekuatannya.
Dihampirinya pohon
oak penuh kenangan itu.
Jemari tangan kanannya mencoba meraba sebuah guratan yang
bertulisakn R/R di kulit pohon tuanya.
Semakin sakit. Padahal tak ada jarum di situ.
Tapi yang ia rasakan lebih dari itu. Seakan sebuah pedang
sedang menari di dalam hatinya.
Menusuk dengan lembutnya sampai tak terasa.
Air matanya masih menetes tak tertahan, ia mencoba tersenyum
melihat guratan itu.
Ia meremas dada kirinya. Sakit. Tapi bukan sakit yang sejak
15 tahun yang lalu ia alami karena penyakit jantung itu. Bukan. Melainkan ia
tak bisa mencegah satu-satunya sahabat terbaiknya itu dengan rela memberikan
jantungnya untuk pemuda itu.
Ia masih belum bisa menerimanya. Dan mungkin ia tak akan
pernah bisa.
“Kenapa kau tak membiarkan aku yang mati ??
Aku hanya ingin melihatnya selalu tersenyum meskipun aku
hanya bisa melihatnya dari langit.
Aku sudah terlalu banyak membuatnya menangis untukku.
Dan saat itu aku ingin mengganti air matanya dengan tawa,
dengan senyumnya setiap hari.”
Masih terisak, matanya telah sembab oleh bulir-bulir bening asin itu.
Seandainya bisa, ingin diputarnya waktu.
Kembali ke jam itu, mencegahnya menggantikan 'peran' yang seharusnya pemuda itu mainkan.
Tapi tentu saja itu menjadi hal yang mustahil.
Garis takdir tangan Tuhan telah terukir dengan sempurna semenjak ia belum di lahirkan di dunia yang semakin membuatnya sesak itu.
Senja membuat sepasang mata hazelnya terbuka perlahan.
Ditatapnya jauh ke garis horizon.
Menyemburatkan warna jingganya, warna kenangannya.....
OWARI
Bandung,
22 Januari 2013.
0:09 WIB
KAZE HIKARI13
source pic : http://ayayawae.files.wordpress.com/2011/11/oak-horizons.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar