Selasa, 22 Januari 2013

Senja, Oak, dan Piringan Kenangan




 
Kini hanya suaranya yang semakin melemah yang terdengar. 

Ia masih duduk dengan merangkul kedua lututnya.

Rambut coklatnya menari bersama dengan angin yang berhembus perlahan.

Ia sendirian di padang itu, di padang hijau dengan pohon oak di tengahnya.

Tempat itu, tempat penuh dengan kenangan.

Mungkin pohon oak yang tetap setia berdiri disitu pun tahu bahwa lelaki itu kini sendirian.

Tak ada lagi tawa renyah dari orang yang selalu bersamanya.

Angin menerbangkan beberapa helai daunnya yang menguning.

Mengalunkan kesunyian yang mendalam. Menyanyikan sebuah lagu duka yang tak akan pernah ada obatnya.

Lelaki itu masih berada di dalam dunianya yang kini terasa semakin dingin.

Senandung kebahagiaan yang hampir setiap hari ia mainkan bersama sahabatnya itu kini hanya akan menjadi sebuah kenangan, sebuah piringan hitam masa lalu yang tersimpan dan akan di putarnya bila ia sendiri.

Dan kini ia akan memutar piringan kenangan itu sendiri.

Mendengarkan lagu yang malah membuatnya menangis sejadi-jadinya.

Takdir yang bersalah, ia menyalahkannya.

Kenapa kau pertemukan kami, hingga terjadilah sebuah ikatan yang tak bisa orang putuskan dengan mudahnya.

Hingga, kau putuskan begitu saja, apa yang sebenarnya kau pikirkan.

Suara hatinya menjerit tertahan.

Ia pun berdiri, mengumpulkan setiap atom kekuatannya.

Dihampirinya pohon oak penuh kenangan itu.

Jemari tangan kanannya mencoba meraba sebuah guratan yang bertulisakn R/R di kulit pohon tuanya.

Semakin sakit. Padahal tak ada jarum di situ.

Tapi yang ia rasakan lebih dari itu. Seakan sebuah pedang sedang menari di dalam hatinya.

Menusuk dengan lembutnya sampai tak terasa.

Air matanya masih menetes tak tertahan, ia mencoba tersenyum melihat guratan itu.

Ia meremas dada kirinya. Sakit. Tapi bukan sakit yang sejak 15 tahun yang lalu ia alami karena penyakit jantung itu. Bukan. Melainkan ia tak bisa mencegah satu-satunya sahabat terbaiknya itu dengan rela memberikan jantungnya untuk pemuda itu.

Ia masih belum bisa menerimanya. Dan mungkin ia tak akan pernah bisa.

“Kenapa kau tak membiarkan aku yang mati ??
Aku hanya ingin melihatnya selalu tersenyum meskipun aku hanya bisa melihatnya dari langit.
Aku sudah terlalu banyak membuatnya menangis untukku.
Dan saat itu aku ingin mengganti air matanya dengan tawa, dengan senyumnya setiap hari.”

Masih terisak, matanya telah sembab oleh bulir-bulir bening asin itu.

Seandainya bisa, ingin diputarnya waktu.

Kembali ke jam itu, mencegahnya menggantikan 'peran' yang seharusnya pemuda itu mainkan.

Tapi tentu saja itu menjadi hal yang mustahil.

Garis takdir tangan Tuhan telah terukir dengan sempurna semenjak ia belum di lahirkan di dunia yang semakin membuatnya sesak itu.

Senja membuat sepasang mata hazelnya terbuka perlahan.

Ditatapnya jauh ke garis horizon.

Menyemburatkan warna jingganya, warna kenangannya.....





OWARI



Bandung,
22 Januari 2013.
0:09 WIB





KAZE HIKARI13



source pic : http://ayayawae.files.wordpress.com/2011/11/oak-horizons.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About