Title : I Found You On The Roof
Pair : Clear X Aoba
Fandom : DRAMAtical Murder
Genre : Shounen-Ai, Angst
Author : Lycoris
Kau tak akan tau
bagaimana rasa kehilangan ketika kau sendiri belum mengalaminya
“Aoba-san........”
“Ngh...Clear...Clear...Clear !!”
“Aoba-san, jaga dirimu.....”
“Cleaaaaaarr !!”
Keringat mengucur deras, nafasnya memburu. Segera ia
terbangun dari tempat tidur yang berukuran single
itu. Hanya mimpi, batinnya. Tapi di mimpi itu terlihat sangat nyata sekali.
“Clear...” lirihnya sembari melihat ke samping kiri tempat
tidurnya. Sebuah boneka jellyfish
besar berwarna biru muda.
“Kenapa kau menghilang setelah perasaan ini kau berikan
kepadaku.”
Seragaki Aoba, pemuda berusia 23 tahun dengan surai biru
panjang dan manik coklat muda. Setiap hari ia bekerja part time di Heibon. Aoba –begitu panggilannya- adalah sosok pemuda
yang ramah dan baik, yah jika bukan karena trio ‘pembuat onar’ yang hampir
setiap hari mengunjungi tokonya dan membuatnya kesal bahkan bisa berteriak
hingga terdengar di luar Heibon.
Namun sudah selama setengah tahun Aoba terlihat tak
bersemangat, ada sesuatu yang sedang mengganjal hatinya. Memang ia masih
seperti Aoba yang semua orang kenal namun ketika ia sendirian sosok ramah dan
baik itu akan berganti dengan sosok yang pemurung dan pendiam. Sudah sering
kali Tae –neneknya- mendapati Aoba yang tak fokus bila diajak bicara. Bukan
berarti Tae tidak sadar dengan perubahan Aoba. Wanita tua berambut merah muda
itu sadar benar dengan keadaan cucunya selama ini. Dan ia yakin karena apa,
lebih tepatnya karena siapa ia menjadi seperti ini. Hanya sosok itu yang telah
membuat Aoba menjadi pendiam, dan hanya sosok itu pula yang telah membuat raga
Aoba terkadang tak bersama jiwanya.
“Aoba...” sapa Tae yang berhasil membuyarkan lamunan Aoba
yang sekali lagi melanglang entah kemana.
“Ah..hai Obaa-chan.
Ada apa ?” Aoba kembali ke kenyataan dan melihat ke arah Tae yang duduk di
ujung meja makan.
Tae menghembuskan nafas pelan, ditatapnya segelas teh hijau
yang setiap pagi menjadi teman minumnya. “Sampai kapan kau akan seperti ini ?”
“Eh ? maksud Obaa-chan
?” Aoba memandang Tae dengan tatapan tak mengerti.
“Wanita tua ini tau apa yang sedang ada di kepalamu selama
lebih dari setengah tahun ini.”
Deg
Aoba menundukkan kepalanya. “Obaa-chan...” lirihnya.
“Maaf Obaa-chan.
Tapi...kau tak perlu mengkhawatirkan aku yang seperti ini. Aku..aku tak
apa-apa.”
Belum sempat Tae berkata lebih lanjut Aoba telah berdiri
dari kursinya dan segera mengambil tas duffel
berwarna putih biru yang tak jauh darinya dan mengalungkannya ke belakang.
“Obaa-chan, aku
berangkat.”
Tae hanya bisa memandang punggung cucunya yang semakin
menjauh dari dapur dan menghilang di ujung pintu.
“Maaf Obaa-chan,
aku hanya ingin menyimpan ini semua sendiri.” Lirih Aoba begitu ia menutup
pintu rumanhnya.
“Clear....”
Segera ingatan tentang mimpinya semalam muncul kembali.
Clear yang meninggalkan Aoba sendirian di atap rumahnya, tanpa menoleh sedikit
pun. Membuka payung transparannya dan pergi entah kemana. Sekeras Aoba
berteriak Clear tak menoleh sedikit pun. Mimpi yang hampir selalu sama, dan
Aoba hanya bisa semakin merasakan nyeri yang tak tergambarkan di dadanya. Aoba
menggelengkan kepala pelan, berusaha menepis mimpi (nyata) semalam. Ditatapnya
langit biru pagi itu, sebentuk wajah imajiner tergambar dan pemuda manis itu
hanya bisa tersenyum masam.
Aoba kemudian memasang headphone
pink yang dengan setia menggantung di
lehernya. Segera ia memilih lagu dari coilnya
dan berjalan dengan santai menuju Heibon. Di tengah perjalannya menuju Heibon
sesuatu bergerak-gerak dari dalam tasnya. Dengan pelan ia membuka zipper tas itu dan di dapatinya sosok anjing kecil
berwarna biru tua, Ren –begitu nama Allmatenya-.
“Aoba.” Sapa Ren dengan lidah pink yang menjulur.
“Ren, aku tak ingat telah menghidupkanmu.”
“Aoba tidak sengaja menekan tombol ketika sedang mengambil
uang di dalam tas.” Ucap Ren datar dan Aoba mengingatnya.
“Ah iya, gomen Ren.”
Ia tersenyum kepada Allmate yang sudah menemaninya sejak berumur 10 tahun itu.
“Aoba...”
“Doushita Ren ?”
“Apa kau yakin kau baik-baik saja dengan semua ini ?”
perkataan Ren sontak membuat Aoba berhenti berjalan.
“Ren...” Aoba menunduk. “Aku baik-baik saja
Ren.....mungkin.”
Segera Aoba mematikan Ren. “Maaf Ren.” Dengan senyum yang
dipaksakan ia kembali berjalan.
------------------
Hari ini masih sama saja dengan hari-hari kemarin. Aoba yang
duduk di belakang meja kasir dengan sesekali memainkan game untuk mengusir kejenuhan. Heibon memang tak terlalu banyak
pengunjung, kebanyakan mereka memesan barang via telepon dan beberapa waktu
kemudian Aoba atau terkadang Haga-san yang mengantarkannya ke pemesan. Dan
seperti biasa pula trio ‘pembuat onar’ muncul dan membuat Aoba naik pitam
karena mereka berlarian di dalam tokonya.
“Omae ra ! sudah
kubilang berapa kali jangan berlarian di dalam toko !” teriaknya yang hanya disusul
nada menjengkelkan dari Kio, Nao dan Mio.
“Urusai na !”
“Aoba tidak asyik.”
“Orang dewasa memang menjengkelkan.”
Dan begitulah terjadi keributan di dalam Heibon sampai pada
akhirnya mereka bertiga berlari keluar ketika Aoba sudah sangat marah dan
berteriak kencang kepada mereka.
“Dasar anak-anak menyusahkan!”
Mungkin Aoba masih bisa mengalihkan rasa sakit hati serta
kehilangan itu dengan aktifitas sehari-harinya. Namun tetap saja sosok pemuda berambut
putih itu tak bisa hilang dari dalam fikirannya. Clear terlalu berat untuk
dilupakan dengan mudah. Entah itu semua perkataannya, senyumannya, bahkan
sentuhannya. Aoba tak bisa dan tak akan pernah bisa untuk menghapus segala
memori begitu saja. Clear lah penyebab ini semua. Ia yang menyebabkan Aoba
menjadi ‘gila’ seperti ini. Dulu ia yang memberikan semuanya kepada Aoba, dan
kini setelah perasaan itu muncul Clear menghilang begitu saja. Meninggalkan
sepucuk surat dan sebuah boneka jellyfish
di beranda kamarnya. Dan sejak saat itu Aoba tak pernah bisa menemukan pemuda
dengan gas mask yang terkadang ia
pakai itu. Entah sudah berapa kali Aoba ke rumah Clear namun tak ada
siapa-siapa disana. Entah sudah berapa puluh kali Aoba terdiam di beranda
kamarnya di lantai 2, menunggu Clear. Dan entah sudah berapa kali Aoba mencari
Clear di setiap sudut pulau Midorijima –tempatnya tinggal- dan ia tetap tak
bisa menemukan Clear. Clear hanya bisa muncul di fikiran Aoba, ia hanya bisa
muncul di khayalan serta memorinya. Ia tak pernah muncul lagi secara nyata di
depannya.
Setiap malam ketika akan berangkat tidur tak lupa ia
menyelipkan doa, berharap ia bisa bertemu dengan Clear walau pun itu semua
hanya lewat mimpi. Dibacanya berulang-ulang kali sepucuk surat dari Clear yang
sampai saat ini Aoba tak tahu apa maksudnya.
“Di lembutnya angin
yang berhembus. Ku temukan sebuah benda berharga yang tak ternilai harganya.
Aku tahu suatu saat tangan ini tak akan bisa lagi merasakan kehangatan. Tapi
aku percaya di atas sana ia akan selalu melihat bintang dan menunggunya untuk
di genggam.”
Lagi.
Kesepian itu muncul memenuhi setiap rongga tulang-tulangnya serta setiap tetes
darahnya. Saraf-saraf otaknya tak mampu berpikir lagi jika rasa itu muncul
kembali. Bukan hanya Aoba yang merasakan, melainkan hampir semua orang yang
dekat dengannya. Meskipun mereka tak merasakan perasaan kehilangan akan Clear
layaknya Aoba, namun yang mereka rasakan justru perubahan drastis sikap dan
sifat Aoba.
Aoba menjadi lebih pendiam, Aoba menjadi sering melamun,
Aoba menjadi tak bersemangat, Aoba sudah tak seperti dulu, serta bla bla bla.
Bukan hanya Tae dan Ren yang selalu menanyakan keadaan Aoba melainkan juga
Haga-san, Koujaku, Mizuki, Yoshie-san serta terkadang Noiz yang terkadang
mampir ke Heibon hanya untuk sekedar mengucapkan ‘hi’ kepada Aoba. Bukan
berarti Aoba selalu diam ketika menjawab semua pertanyaan-pertanyaan mereka, ia
selalu dan selalu mengelak. Ia tak ingin
berbagi dengan orang lain tentang kesepiannya, yaah meskipun sekarang secara
tidak langsung orang-orang di sekitarnya telah merasakan dampak dari kesepian
Aoba.
“Hhhh..” Aoba menghembuskan nafas pelan. Ia kembali duduk di
balik meja kasir setelah ‘insiden’ hariannya itu. Pikirannya kembali melayang
entah kemana, meninggalkan kenyataan di dunia yang ia pijak sekarang. Jika saja
Aoba tak pernah bertemu dengan Clear hari itu maka ia tak akan pernah seperti
ini. Namun ia menyadari bahwa jika ia tak pernah bertemu dengan Clear mungkin
sampai sekarang ia tak akan memiliki perasaan menggilitik namun menyakitkan
seperti ini.
“Bukankah semua yang
terjadi memiliki alasan tersendiri. Dan alasanku ada disini adalah untuk ada di
samping Aoba-san. Melindungi Aoba-san, serta selalu membuat Aoba-san
tersenyum.”
Tiba-tiba saja kata-kata dari Clear itu muncul begitu saja
di kepalanya. Pernyataan yang waktu itu membuat Aoba merona sendiri. Apalagi
Clear memasang wajah serius ketika mengucapnya –biasanya Clear terlihat seperti
anak-anak untuk Aoba-. Kau pembohong Clear, batin Aoba. Kata-kata Clear sudah
seperti angin yang hanya lewat begitu saja. Pada awalnya memang menyejukkan dan
membuat nyaman, namun pada akhirnya ia hilang dan meninggalkan rasa panas.
“Aoba...” ujar seseorang yang kini sudah berada di depan meja
kasir. Aoba tak menyadari keberadaan sosok itu sampai orang itu menyapa Aoba
dengan keras. Segera pikiran yang sedari tadi pergi entah kemana kembali ke
dunia dimana ia berada.
Aoba menoleh dengan cepat. Sosok yang sangat familiar.
“Ngh...Koujaku.”
Koujaku, teman masa kecil Aoba kini telah berdiri dengan
tegap di depan Aoba. Raut wajah Koujaku masih sama dengan beberapa bulan yang
lalu, mengkhawatirkan Aoba. Koujaku bukan tak ingin bertanya namun sepertinya
ia sudah tahu dengan jawaban apa yang akan ia dengar dari bibir pemuda dengan
tinggi 175 cm itu ‘Aku baik-baik saja
Koujaku.’ atau ‘Kau seperti wanita
tua saja, cerewet.’ Oleh karena itu ia sudah tak ingin bertanya lagi. Tapi
dalam hatinya ia tetap tak tega melihat Aoba menderita seperti ini. Koujaku bukannya
tak peka, ia mengetahui pasti ini semua berhubungan dengan Clear. Pemuda dengan
scraft kuning itu memang baru
sebentar ia kenal, namun ia menyadari keberadaan Clear telah membuat perasaan
lain pada diri Aoba, bahkan Koujaku berani bertaruh bahwa Clear juga merasakan
hal yang sama dengan apa yang Aoba rasakan.
Aoba memandang heran Koujaku, “Koujaku, tak seperti kau
kesini di waktu kerja seperti ini ? Ada apa ?”
“Ah tidak, aku hanya mampir sebentar dan ingin memastikan
keadaanmu.”
Aoba membulatkan mata, “eh ? keadaanku ?”
Raut muka Koujaku seperti biasanya, datar namun di mata
terdapat suatu kekhawatiran. Ia tak menjawab, hanya tatapan itu yang seolah
menjawab pertanyaan Aoba.
“Haaah...kau ini apa-apaan sih. Aku baik seperti kemarin,
kemarinnya lagi dan kemarinnya lagi.”
‘Tidak Koujaku, aku tidak
sedang baik-baik saja. Entah hari ini, kemarin, kemarin, dan kemarinnya lagi.
Aku tak pernah baik-baik saja.’
“Aoba....” Koujaku berkata lembut. “Kau tahu, aku sudah
mengenalmu ketika kita masih kecil. Aku sudah tidak bisa menganggapmu sebagai
sekedar teman atau sahabat. Kau sudah kuanggap seperti adikku sendiri, jadi apa
yang sedang kau sembunyikan pun aku bisa mengetahuinya dengan melihat kedua
matamu.” Perkataan Koujaku tersebut membuat Aoba terdiam mematung.
Melihat respon Aoba yang hanya terdiam itu membuat Koujaku
semakin yakin dengan apa yang ia rasakan selama ini.
“Ini semua..pasti ada hubungannya dengan Clear kan ?”
pertanyaan Koujaku secara to the point
itu membuat Aoba langsung mendongakkan wajahnya ke manik ruby Koujaku, namun Aoba hanya terdiam dan tak mampu mengeluarkan
suara yang ia tahan.
Koujaku menghela nafas “hhhh...aku tahu semuanya Ao—“
“Kalau memang ini semua tentang Clear, apa yang akan kau
lakukan Koujaku ?” Aoba menundukkan kepalanya dan menatap lantai keramik
berwarna coklat itu. “Dia....seenaknya saja memberiku ‘ini’ dan sekarang ia
menghilang begitu saja. Lalu bagaimana aku bisa seperti biasanya ?!” Rasa sakit
itu akhirnya Aoba keluarkan. Punggung Aoba sedikit bergetar dan Koujaku hanya
bisa mengelus punggung itu dengan perlahan.
**chapter 1 END**
Doakan akan ada chapter berikutnya *eh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar