Rabu, 23 Juli 2014

[Fanfic] FUTARI 'the other end' (DRAMAtical Murder)

the other end of fanfic FUTARI (DRAMAtical Murder) enjoy it~

FUTARI
Cast                : Aoba Seragaki, Sei

Fandom          : DRAMAtical Murder

Genre             : Family

Rate               : T

Author            : Lycoris


             “Ne Nii-chan, apa yang ingin kau dapat di ulang tahunmu besok ?”

             “Aku ? Aku hanya ingin Aoba terus bahagia.”

             “Hei, hadiah macam apa itu ? Bukannya aku sudah bahagia, denganmu disini.”

             “Tadi kau menanyakan aku ingin hadiah apa, ya itu hadiah yg aku inginkan.”

             “Sou sou. Kau memang tak pernah berubah Niichan.”

             “Aoba mo.”

   Sei masih duduk terdiam di samping jendela kaca ruang tamu. Tangan kirinya menyangga dagu yang terus mengarah ke luar jendela. Sudah hampir 2 jam ia seperti itu. Memandang kosong ke dalam hujan yang turun dengan derasnya malam itu. Meskipun Tae sudah memberitahunya agar segera pergi ke dalam kamar tidur, tapi anak laki-laki berumur 9 tahun itu masih tak beranjak sedikit pun.
“Mau sampai kapan kau menunggu adikmu, Sei-chan ?” tanya Tae sambil membereskan meja makan.
“Aoba...belum pulang.” Sei berkata lirih, ada nada kesedihan disitu.
Tae menghampiri anak laki-laki berambut hitam sebahu itu. Diletakkannya segelas coklat panas di depan meja tempatnya duduk.
“Sebentar lagi, pasti Aoba dan kedua orang tuamu sedang kehujanan makanya mereka telat pulang.” Tae mengelus puncak kepala Sei.
“Ini, minumlah.” Sei menatap mug berwarna putih dengan garis biru tua itu.
“Punya Aoba mana ?” dan Tae pun hanya bisa tersenyum melihat Sei. Sedikit pun ia tak pernah melupakan sang adik kembarnya itu.
“Kalau Aoba sudah datang nanti Baa-chan buatkan untuknya. Sekarang yang terpenting kau habiskan ini dulu.” Sei pun mengangguk.
Diminumnya sedikit demi sedikit coklat panas buatan neneknya itu, dan Tae pun segera meneruskan pekerjaan yang sempat terhenti.

Krek
Suara pintu terbuka.
Tadaima!” suara khas anak kecil itu pun langsung memecah keheningan rumah yang tak terlalu besar. Dengan setengah berlari anak laki-laki berambut biru itu memasuki rumah setelah melepas sepatunya yang basah dengan sembarang.
Raut wajah Sei pun berubah 180 derajat. Ia pun berdiri dari tempat duduknya. Menunggu sang adik yang sebentar lagi muncul dari balik pintu ruang tamu.
Yang di tunggu pun muncul. Dengan nafas yang terengah ia menghampiri sang kakak yang sudah menunggu kepulangannya itu.
Okaeri Aoba.” Sei tersenyum.
Nii-chan !” Segera bocah dengan rambut panjang itu berlari ke arah Sei dan memeluk Sei.
“Aku sangat merindukan Nii-chan.” Aoba mengeratkan pelukannya.
“Aku juga sangat merindukan Aoba.” Balas Sei sambil mengelus rambut Aoba yang sedikit basah itu.
Aoba melepaskan pelukan kerinduan itu. Dilihatnya wajah Sei yang pucat.
Nii-chan baik-baik saja kan ?” Aoba membesarkan kedua matanya. Dan Sei hanya tersenyum, seperti biasa.
“Memang ada yang salah denganku ? Aku baik-baik saja Aoba, dan sekarang lebih baik karena Aoba sudah pulang.”
Belum sempat Aoba menjawab pernyataan Sei, Nine dan Haruka menghampiri mereka berdua.
“Aoba, kau harus mandi. Air hujan bisa membuatmu sakit.” Kata Haruka.
“Dan Sei, kau pasti merindukan kami kan ?” Nine menghampiri Sei dan memberikan anak laki-laki itu pelukan hangat.
Sei hanya mengangguk, ia membalas pelukan ayahnya itu.
“Aku juga ingin dipeluk bersama Nii-chan.” Aoba menggembungkan kedua pipinya karena melihat hanya Sei yang dipeluk oleh ayahnya.
Hai hai, kemari Aoba. Biar ayah memeluk kalian berdua.” Kemudian Nine meraih tubuh kecil Aoba dan memeluk mereka berdua. Haruka hanya tersenyum dan Tae tertawa kecil melihat kelakuan mereka.
Tak beberapa lama akhirnya Haruka menyuruh Aoba untuk segera mandi. Bocah kecil itu hanya mengganngguk dan segera pergi ke kamar mandi bersama ayahnya, Nine.
“Sei, belum minum obat kan ?” Haruka bertanya kepada Sei yang kini duduk di kursinya tadi.
Sei menggeleng, “aku menunggu Aoba Kaa-san. Tapi janji setelah ini aku akan meminum obatku dan segera tidur bersama Aoba.” Sei tersenyum lebar.
“Maafkan kami karena harus meninggalkanmu kemarin selama 2 hari kemarin.” Wajah Haruka terlihat menyesal, ia berjongkok di depan Sei dan mengelus rambutnya.
“Emm, daijobu. Memang kesehatanku kemarin yang sedang buruk, lagi pula yang terpenting sekarang ayah, ibu dan Aoba sudah pulang kan.”
“Sei....arigatou karena Sei selalu bisa mengerti. Dan maafkan Kaa-san dan Tou-san yang jarang di rumah untuk Sei.” Haruka kemudian memeluk pelan badan kecil dan ramping Sei.
Sei menenggelamkan wajahnya di pundak Haruka. Ia hanya diam dan tersenyum simpul.


Haruka Seragaki, meskipun Sei dan Aoba bukanlah anak kandungnya bersama Nine tapi arti mereka berdua sudah lebih dari itu. Sejak pertama kali Tae membawa bayi Sei dan Aoba ke rumah, sejak itulah ia sudah menganggap mereka berdua adalah anak kembar mereka berdua. Kasih sayang yang mereka berikan juga tulus seperti orang tua kandung kepada anak kandung mereka. Malahan mungkin bisa dikatakan melebihi ikatan darah antar orang tua dengan anaknya. Ia begitu menyanyangi mereka berdua.
Sei Seragaki, anak laki-laki yang bersikap dewasa dibanding umurnya yang baru menginjak 10 tahun. Entah sejak kapan ia mulai mengerti bahwa ia yang harus menjaga Aoba, adiknya yang terkadang sangat manja itu. Sei selalu mengalah kepada Aoba, ia mengerti bahwa Aoba hanya ingin mendapatkan perhatiannya. Dan Sei tidak pernah mempermasalahkan itu, karena baginya Aoba adalah alasan ia bisa bertahan sampai sekarang. Sei memiliki penyakit sejak ia kecil, oleh karena itu ia sehari pun tidak bisa melepaskan diri dari obat-obatan yang dibuat oleh Tae, nenek angkat mereka. Sei selalu menjaga Aoba, dan Aoba yang sangat menyayangi serta harus melindungi Sei. Oleh karena itu mereka berdua tidak bisa dipisahkan.

“Nah Sei, sekarang kau cepat minum obatmu dan bersiap untuk tidur. Karena sebentar lagi Aoba akan menyusulmu, ne.” Haruka mencium puncak kepala Sei dan kemudian mengelusnya pelan.
Hai Kaa-san.” Sei segera bangkit dari duduknya dan berjalan ke dalam kamar tidur yang berada di lantai 2 rumah itu. Haruka memperhatikan punggung yang berbalut baju tidur panjang warna putih itu sampai ia hilang.
“Sei sangat dewasa, dan Aoba sekarang malah semakin manja dengannya.” Suara Tae membuat perempuan berambut panjang itu menoleh ke belakang, Tae berdiri tidak jauh darinya.
“Un, dan karena alasan itu juga kenapa Aoba tidak ingin jauh dengan Sei lama-lama.”Haruka menghampiri ibunya.
“Ah iya Haruka, apa kau sudah memberikan mereka berdua kado ?” Tanya Tae.
Okaa-san tenang saja, aku dan Nine sudah menyiapkan kado yang sangat tepat untuk mereka berdua.” Haruka tersenyum penuh arti.
Saa, aku mau mandi dulu. Okaa-san cepatlah tidur, jangan terlalu kecapaian.” Haruka mencium pipi ibunya itu dan berjalan menuju kamarnya meninggalkan Tae yang kini tengah penasaran dengan kado apa yang akan mereka berikan untuk ulang tahun si kembar besok.


Sei tengah duduk di atas ranjangnya ketika Aoba masuk ke dalam kamar. Segera Sei menoleh dan Aoba menghampirinya. Kemudian tanpa menunggu aba-aba lagi Aoba segera naik ke atas ranjangnya dan menyenderkan punggungnya ke punggung Sei.
Ne Nii-chan, apa yang ingin kau dapat di ulang tahunmu besok ?” tanya Aoba sambil memainkan ujung piyama biru mudanya.
Sei setengah terkaget, tidak biasanya Aoba menanyakan tentang hadiah ulang tahun. tapi bukan Sei jika ia tidak bisa menjawab pertanyaan adiknya.
             “Aku ? Aku hanya ingin Aoba terus bahagia.” Jawab Sei lembut dan singkat.
             “Hei, hadiah macam apa itu ? Bukannya aku sudah bahagia, denganmu disini.” Aoba segera
memutar badannya. Kini ia dan Sei berhadap-hadapan. Bisa Aoba lihat bahwa kedua mata kakaknya
mengatakan yang sebenarnya. Sei memang tak pernah bercanda dengan kata-katanya.
             “Tadi kau menanyakan aku ingin hadiah apa, ya itu hadiah yg aku inginkan.” Sei mengacak asal
rambut Aoba yang setengah basah itu.
   “Sou sou. Kau memang tak pernah berubah Nii-chan.” Aoba cemberut dan membenarkan rambutnya yang berantakan itu.
Sei tersenyum hangat, “Aoba mo.”
Saa, ayo kita tidur. Nanti kita akan kena omelan Baa-chan kalau belum tidur. Lagi pula Aoba pasti capek bukan.” Sei membenarkan posisinya yang kini sudah terbaring di samping Aoba.
“Tapi aku lebih capek kalau harus mendengarkan Baa-chan mengomel sih.” Aoba terkikik pelan.
“Haha dasar kau ini.” Sei pun menyelimuti mereka berdua dan Aoba yang mematikan lampu yang ada di sebelah tempat tidurnya.
Gelap, hanya sinar bulan yang masuk melalui celah-celah jendela yang terlihat.
Oyasumi Nii-chan.” Aoba memejamkan matanya sambil memeluk gulingnya.
“Um, oyasumi Aoba.” Sei tidak langsung memejamkan matanya. Ia masih terjaga dan kini melihat langit-langit kamarnya. Besok umurnya dan umur Aoba akan menjadi 10, tapi bukan itu yang ia pikirkan. Melainkan ia memikirkan jika ia tidak akan pernah sembuh dari penyakit yang sejak lahir sudah ia idap.
Sei tidak pernah menyalahkan siapa-siapa karena mungkin ini sudah jalan yang harus ia hadapi. Setiap orang memiliki jalan yang berbeda-beda begitu pula dengan dia.
Sei memperhatikan wajah Aoba yang tertidur, ia tak pernah berubah. Masih seperti Aoba yang pertama kali ia lihat di saat mereka dilahrkan di sebuah laboratorium. Kemudian Sei ingat akan sesuatu, ia pun beranjak dari ranjangnya.


“Sei, Aoba ! Tanjoubi Omedetou !!” suara serentak Nine, Haruka dan Tae terpaksa membuat dua anak yang tadi masih berpetualang ke alam mimpi untuk terbangun. Dengan mata yang dipaksakan untuk terbuka, kini mereka berdua melihat sebuah tart berwarna putih dan biru muda dengan beberapa strawberry yang menutupi atas tart dan beberapa lilin kecil yang sengaja di tancapkan telah berada di depan mereka.
Dua anak yang hari itu bertambah umur langsung duduk dan tersenyum bahagia dengan kejutan yang mereka dapat.
“Buat permohonan dan tiup lilin itu bersama-sama.” Tae berkata kepada mereka berdua dan raut wajahnya terlihat sangat bahagia melihat kedua cucunya bertambah usia.
“Un.” Keduanya mengangguk serempak dan saling berhadapan. Aoba memegang kedua tangan Sei lebih dulu, dan Sei pun membalasnya. Kini kedua tangan mereka saling terikat. Ketiga orang dewasa yang memperhatikan mereka tersenyum melihat tingkah Sei dan Aoba.
Mereka berdua memejamkan kedua mata, membuat keinginan di dalam hati. Berharap keinginan mereka terkabul ketika mereka membuka mata dan mulai meniup lilin-lilin itu.
Sei membuka kedua manik hitamnya lebih dulu, kemudian disusul Aoba. Nine yang memegang nampan tart itu pun sedikit mencondongkan nampan untuk lebih dekat ke arah mereka berdua. Mereka berdua saling tatap dan menggangguk bersama.
“Fuuuh..” lilin-lilin kecil itu pun satu persatu padam.
Nii-chan tanjoubi omedetou.” Aoba meringis ke arah Sei.
Aoba mo, tanjoubi omedetou.” Sei tersenyum lebar ke arah Aoba.
Mereka berdua pun melihat ke arah Nine, Haruka dan Tae.
Tou-san, Kaa-san, Baa-chan, arigatou gozaimasu.” Serentak mereka berkata kepada 3 orang dewasa yang telah membesarkan mereka selama ini.
Mereka bertiga terdiam untuk beberapa saat, memperhatikan setiap raut yang terpancar dari kedua bocah kembar itu. Tak terasa sudah selama ini mereka bertiga merawat dan membesarkan Sei dan Aoba. Tae hampir saja meneteskan air mata jika saja Haruka tidak memegang bahunya.
“Bagaimana kalau kita potong kue ini dan kita memakannya bersama-sama.” Ujar Haruka yang langsung mendapat anggukan dari keduanya.
Segera si kembar flaternal itu turun dari ranjang dan berjalan mengikuti sang ayah yang telah berjalan lebih dulu sambil membawa nampan yang terisikan tart.
Tae dan Haruka mengikuti dari belakang.

Sei dan Aoba sudah duduk berdampingan di depan tart yang siap mereka potong berdua. Pisau khusus untuk tart pun telah Aoba pegang.
Nii-chan, ayo kita potong berdua.” Ajak Aoba yang mendapat senyum mantap Sei. Mereka berdua pun memotong tart itu bersama-sama.
Mereka berdua pun serempak memberikan potongan pertama kepada sang nenek. Tae pun menerima dengan terharu. Kemudian potongan kedua dan ketiga mereka berikan kepada ayah dan ibu mereka, dengan Aoba yang memberikan kepada Nine dan Sei yang memberikan kepada Haruka. Mereka pun menyuapkan bersama-sama.
Pagi itu, menjadi pagi yang sangat berkesan bagi si kembar. Usia yang menjadi 10 tahun dan orang-orang yang menyayangi mereka berdua. Di tengah kebahagiaan itu Nine teringat sesuatu. Dengan memberi tanda ‘tunggu sebentar’ ia meninggalkan yang ada di meja makan itu. Membuat Sei dan Aoba terheran apa yang sedang di lakukan oleh ayah mereka.
Haruka dan Tae pun hanya tersenyum penuh arti. Tak beberapa lama, Nine pun kembali dengan membawa sesuatu. Sebuah tas duffel yang terlihat ada isinya. Sei dan Aoba semakin bingung, namun pada akhirnya mereka paham akan apa yang Nine bawa.
“Sei, Aoba, ini hadiah dari kami untuk kalian.” Ujar Nine kepada keduanya.
“Eee hontou ni ?” Aoba turun dari tempat duduknya dan menghampiri ayahnya yang jongkok di lantai.
“Sei, kemarilah. Buka bersama Aoba.” Kata Nine.
“Iya Nii-chan, sini.” Aoba melambaikan tangannya, tanda agar Sei mendekat.
Sei pun turun dari kursinya dan menghampiri mereka berdua. “Tou-san, ini apa?” tanya Sei.
Nine, dan Haruka hanya bisa tersenyum. Sedangkan Tae sebenarnya ia juga penasaran dengan hadiah yang dibaawa oleh Nine. Karena Tae sendiri sebenarnya juga tidak tau dengan apa yang anak beserta menantunya berikan.
“Cepat buka.” Ujar Haruka.
Sei dan Aoba pun membuka isi tas berwarna putih biru itu bersama-sama.
“....”
Sesuatu tiba-tiba menyembul. Berwarna biru tua dengan bulu-bulu halus yang bisa mereka lihat. Kedua bentuk yang menyerupai telinga pun bergerak-gerak. Seekor anjing.
Tak beberapa lama kedua manik yang serupa dengan bulu itu pun terbuka. Dengan lidah pink yang menjulur. Sei dan Aoba masih diam tak percaya dengan kado yang mereka berdua terima. Tetapi sesaat kemudian mereka saling tatap dan tersenyum bahagia.
Ohayou Sei, Aoba.”
“...”
“...”
“he ????” ujar mereka berdua bersama.
“Kenapa anjingnya bisa berbicara ?” Aoba sedikit takut dengan anjing itu.
Tou-san, ini......” reaksi Sei lebih tenang dibanding dengan Aoba yang terkaget.
Nine dan Haruka hanya tertawa, sedangkan Tae juga masih terkaget. Setelah puas tertawa Nine pun menarik nafasnya dan menjelaskan.
“Aoba, Sei, perkenalkan ini adalah allmate yang memiliki bentuk anjing.” Nine memperkenalkan hadiah tak biasa itu kepada mereka.
“.....allmate ?” Aoba masih heran.
Sei pun mulai berani menyentuh allmate anjing itu. Ia mengusap-ngusap bulu halus berwarna biru tuanya.
Yoroshiku Sei, Aoba.” Ia kembali bersuara dan dibalas oleh Sei. “Kochirakoso yoroshiku.”
Aoba yang masih tak mengerti malah dibuat semakin bingung.
Nii-chan~ allmate itu apa ?” Aoba sudah seperti orang yang paling tak tahu apa-apa di ruangan itu.
Sei terkikik, kemudian ia mengambil allmate itu dan memanggkunya.
Allmate adalah seperti robot yang bisa berbicara, mereka memiliki kecerdasan dan kepribadian sesuai dengan apa yang kita ajarkan. Dan yang terpenting mereka bisa bertingkah sesuai dengan wujud mereka. Apa kau mengerti Aoba ?” Sei menjelaskan sambil terus mengelus allmate itu.
Aoba masih berpikir sejenak. “Aaa wakatta.” Ia pun mulai berani mengusap perut allmate itu.
“Tapi kita juga harus memperlakukan mereka seperti hewan yang sesungguhnya. Kita harus menyayanginya.” Haruka menambahi.
Arigatou Tou-san, Kaa-san, Baa-chan.” Ucap mereka berdua.
“Jaga dia baik-baik.” Ujar Nine.
Mereka berdua mengangguk mantap. “Un ! pasti !”
“Sekarang kalian harus memberinya nama.” Kata Tae sambil meminum tehnya.
Mereka berdua terlihat berpikir.
“......”
“Bagaimana kalau Ren.” Celetuk Sei, Aoba pun langsung menoleh ke Sei dan membulatkan matanya.
“Nah ! itu nama yang paling tepat untuk dia.” Aoba pun mengangkat allmate itu. “Mulai sekarang namamu Ren. Yoroshiku i Ren.” Aoba pun menempelkan wajahnya ke badan Ren.
Ketika Aoba tengah asyik dengan Ren, Sei pun teringat akan sesuatu. Segera ia berdiri dari duduknya dan setengah berlari ke kamar. Mereka yang ada disitu pun hanya dibuat kaget, karena tak biasanya Sei seperti itu.
Sei pun kembali dengan tangan yang ia sembunyikan ke belakang. Aoba yang menggendong Ren itu pun memperhatikan gelagat Sei yang tak biasa.
Nii-chan, doushita no ?” heran Aoba. Sei berjalan mendekat ke arah Aoba. Ren yang tadinya digendong Aoba pun ia turunkan di lantai.
“Aoba....kore...” Sei pun memperlihatkan apa yang ia sembunyikan tadi di balik punggungnya.
Aoba memperhatikan apa yang berada di tangan Sei. Sebuah gambar yang ia yakini itu adalah gambarnya yang sedang bergandengan tangan dengan Sei. Bisa dikatakan untuk anak seusia Sei itu adalah gambar yang sangat bagus.
Itu adalah gambar yang Sei gambar semalam, dengan menggunakan crayon miliknya sampai tengah malam ia membuat gambar itu untuk hadiah Aoba.
“....”
Nii-chan, arigatou.” Aoba hampir saja menangis jika saja Sei tidak memeluknya dan menepuk-nepuk kepalanya.
“Maaf Aoba aku hanya bisa memberikan itu untukmu.” Sei pun melepaskan pelukannya dengan Aoba. Aoba menggeleng, “ini adalah hadiah yang paling berharga Nii-chan. Arigatou, aku menyayangimu Nii-chan. Aku berjanji akan terus ada untuk Nii-chan dan akan terus menjaga Nii-chan.”
Nine, Haruka, dan Tae terharu melihat adegan itu. 2 orang anak laki-laki yang baru saja menginjak umur 10 tahun tapi saling menyanyangi sampai seperti itu. Aoba yang sangat manja dan Sei yang sangat menyayanginya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

13 tahun kemudian

21 April.

Sore itu Aoba masih mengantarkan barang-barang dari Heibon ke alamat yang di tuju. Ren setengah berlari di samping Aoba, sedangkan Aoba kesusahan dengan barang bawaan yang lumayan banyak hingga menutupi pandangannya. Itu adalah barang terakhir hari ini.
Sampai, segera Aoba memencet tombol rumah itu. Setelah seorang wanita paruh baya keluar dan menerima barang-barang yang lumayan berat, Aoba dan Ren segera undur diri.
Allmate biru itu Aoba taruh ke dalam tasnya dan ia matikan. Ia tahu Ren juga sudah sangat kelelahan karena seharian ini mengantarkan barang.
Langkah kakinya tiba-tiba menjadi berat ketika melewati sebuah toko bunga yang sudah tutup.
“Hhhh...” ia menghembuskan nafas dengan berat. Kedua kakinya tiba-tiba berat dan membuatnya harus berdiri mematung di depan toko yang tak terlalu besar itu.
Ia menengadah ke langit yang kini telah berubah warna menjadi hitam dengan beberapa bintang yang bisa ia lihat meskipun terhalang oleh bangunan-bangunan.
“Besok ya...” katanya lirih.
“Tunggu aku Nii-san...”
Aoba pun memaksakan kakinya untuk berjalan. Kedua maniknya telah menggantung embun yang telah siap menetes. Namun dengan segera ia mengelapnya dan segera pulang ke rumah.


Kamar yang berada di lantai 2 itu dibiarkan gelap. Angin malam masuk dengan bebasnya melalui beranda yang sengaja dibiarkan terbuka. Sebuah siluet menampakkan seseorang yang tengah menumpu badannya dengan kedua tangan di tepi beranda.
Aoba masih diam seraya pandangannya memandang kosong ke depan. Sunyi, hanya suara binatang malam yang terdengar. Aoba masih menikmati kesunyian yang tercipta. Lagi pula hampir setiap hari sepulang bekerja paruh waktu di Heibon ia juga seperti itu. Menciptakan sebuah kesunyian yang hanya boleh dia sendiri nikmati.
Mungkin jika peristiwa itu tak pernah terjadi, Aoba tak akan seperti sekarang. Jika dulu pribadi Aoba adalah seorang yang periang dengan segala kemanjaannya. Sekarang semua itu telah berubah. Ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk menyendiri di dalam kamarnya. Merasakan memori seseorang yang telah berbagi kehidupan dengannya. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, kehidupan Aoba hanya tinggal setengah. Ia seperti setengah hidup dan setengah mati.
Jika saja Ren yang tak secara tiba-tiba menghampirinya, mungkin Aoba akan lebih dalam lagi menyelami kesunyiannya malam itu.
“Aoba, cepat tidur. Bukannya pagi-pagi Aoba harus kesana.” Ren berkata dengan nada seperti biasanya.
“Aa kau benar Ren. Terima kasih sudah mengingatkanku untuk itu.” Segera ia menggendong Ren dan menutup pintu berandanya.
Malam itu Aoba tidur dengan setitik air mata yang mengalir.


Itterasai Aoba.” Ujar Tae di depan pintu.
Hai ittekimasu baa-chan, Ren.” Aoba menatap secara bergantian neneknya dan Ren.
“Sampaikan salam kami untuk Sei.” Tae berkata dengan nada lirih dan sedih.
Aoba hanya tersenyum kecut kemudian mulai berjalan meninggalkan Tae dan Ren.


 “Kore Aoba...” ucap wanita pemilik toko bunga itu sambil memberikan beberapa bunga matahari permintaan Aoba.
“Sebuket bunga matahari seperti biasanya.” Tambahnya wanita yang kira-kira berumur 30an itu.
Aoba menerimanya dan memberikan beberapa lembar uang.
Sankyu, ja na..” belum sempat Aoba untuk pergi wanita pemilik toko bunga itu dengan sigap memegang bahu Aoba.
“Tunggu dulu Aoba. Tunggu sebentar disitu.” Ia pun mengambil beberapa tulip putih segar.
“Ini untukmu, tanjoubi omodetou.
Ia terdiam beberapa saat dan memandang bunga yang kini telah berada ditangannya.
Hai arigatou Hiza-san.” Aoba tersenyum dan beberapa saat kemudian ia meninggalkan toko bunga yang dulu sering sekali ia dan Sei kunjungi untuk membeli bibit bunga matahari. Dan beberapa bulan kemudian mereka berdua akan kembali untuk menjual biji-biji bunga matahari di tempat itu.
Itu dulu sekali sewaktu mereka masih kecil dan Sei masih bisa berjalan-jalan. Ya dulu, sebelum semuanya berubah.


Didekapnya sebuket bunga matahari dan beberapa bunga tulip yang baru saja ia beli. Udara pagi Midorijima memang segar apalagi jika sudah dekat dengan pantai seperti ini. Hampir setengah jam Aoba berjalan, hembusan angin pantai bisa ia rasakan.
Tak jauh lagi. Di lihatnya sebuah bukit yang sangat dekat  yang menjorok ke pantai. Itu adalah tempat tujuannya. Karena disana Sei sudah menunggu ke datangannya.


“Aku datang Nii-san.” Di lihatnya dengan tatapan sendu sebuah gundukan yang di atasnya sudah ditumbuhi rerumputan itu. Sebuah nisan dari kayu berwarna coklat tua dengan ukiran ‘Sei Seragaki’ terpampang jelas di depan Aoba.
Aoba berjongkok di depan makam yang merupakan satu-satunya yang ada disana.
Otanjoubi omedetou Nii-san.” Ucapnya parau yang disertai dengan sebuah senyuman getir. Ditaruhnya sebuket bunga matahari itu. Ia terdiam, lama. Hembusan angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya yang memanas. Di telannya ludah dengan berat. Masih terngiang ingatan 2 tahun yang lalu, ketika ia dengan jelas melihat sebuah kendi porselain yang berisikan abu Sei dikubur disana. Serasa sebagian hidupnya telah terkubur juga. Karena alasan itulah sikap dan sifat Aoba berubah.
Tiba-tiba saja kedua mata Aoba terasa sangat berat dan ia pun tertidur di samping makam Sei.

“Aoba...” suara lembut yang sangat ia rindukan itu membangunkan Aoba dari tidurnya.
Aoba masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Nii----Nii-san.” Aoba hanya bisa tergagap begitu melihat Sei berjongkok di depannya.
“Aku disini Aoba, apa Aoba merindukanku ?” Senyum yang sangat Aoba rindukan kini bisa ia lihat dengan jelas.
Segera Aoba bangun dari posisi tidurnya dan memeluk kakaknya tiba-tiba.
“Nii-san aku sangat merindukanmu, sangat dan sangat.” Air mata Aoba akhirnya keluar. Sei mengelus punggung sang adik dengan penuh kasih sayang.
Selama beberapa saat mereka berpelukan. Aoba begitu menikmati pelukan hangat sang kakak. Sudah lama ia tak mendapat pelukan yang selalu bisa membuatnya tenang itu.
“Aoba, kau sehat kan ? Kau selalu makan masakan Baa-chan kan ? Ah iya apa Baa-chan baik-baik saja ? Dan Ren ?” Sei bertanya tanpa jeda. “Hehe gomen gomen aku bertanya banyak sekali pada Aoba.”
“Iie Nii-san, daijobu. Semuanya baik-baik saja. Nii-san bertanya apa saja pasti akan aku jawab.”
“Hai hai Aoba sangat baik.”
Aoba pun melepas pelukannya. Ia memandang Sei dengan setengah percaya setengah tidak. Sei yang meninggalkannya 2 tahun yang lalu telah berada di depannya. Tersenyum, bahkan memeluknya.
“Ini....nyata kan Nii-san ?”
“Hmm ?” Sei menatap Aoba. “Tak peduli ini nyata atau tidak, tak peduli jika ini mimpi atau bukan. Bukannya yang lebih penting kita bisa bertemu ?”
Aoba terdiam sejenak.”a-aaa....”
“Ne Aoba, apa Aoba kesepian ?”
“........”
Aoba tak berani menatap manik hitam Sei. Bahkan Sei tak bertanya pun harusnya ia sudah tau bahwa Aoba sangat kesepian. Sangat. Setelah di tinggalkan oleh kedua orang tua mereka kemudian Sei, apa Aoba tak kesepian ? Berkali-kali ia telah di tinggalkan oleh orang-orang yang sangat berharga untuknya.
Sei menatap sekitarnya yang semuanya serba putih itu.
“Kau tau Aoba, aku sangat beruntung menjadi kakakmu. Karena Aoba selalu menjagaku sampai saat itu. Tak ada yang lebih membahagiakanku dari pada itu. Itu sudah cukup bagiku Aoba. Mempunyai ikatan darah dengan Aoba dan selalu bersama Aoba. Aku.....bahagia Aoba, sangat bahagia.”
“Nii-san.....” ia berkata lirih diikuti oleh tatapan lembut Sei.
“Meskipun terbilang singkat kebersamaan kita tapi hari-hari yang kita jalani bersama sudah membuat hidupku yang singkat ini berharga dan bahagia. Aoba sudah membuatku tersenyum, dan sekarang masih banyak orang yang harus Aoba buat tersenyum juga. Ada Baa-chan serta Ren yang sangat membutuhkan Aoba.”
Air mata Aoba jatuh kembali  tanpa ia sadari. Ia terlalu terpuruk atas kehilangan kakaknya itu hingga ia melupakan orang-orang disekitarnya. Orang-orang yang selalu mengkhawatirnya, orang-orang yang ingin Aoba tersenyum seperti dulu.
“Aoba mengerti kan ? Lagi pula ini bukan akhir Aoba, ini adalah awal. Karena....suatu saat nanti kita akan bertemu kembali. Pasti.”
“Nii-san, aku....aku juga sangat beruntung bisa menjadi adikmu. Berbagi semuanya dengan Nii-san. Dan....”Aoba memenggal perkataannya.
“Hmmn ?”  Sei menatap lekat-lekat adiknya. “Aoba, sepertinya aku harus pergi lagi sekarang.”
Aoba tak mengerti dengan apa yang Sei katakan. Hingga dengan perlahan tubuh Sei mulai menghilang.
“E—ehh ?? Nii-san aku.....aku, aku akan hidup untuk orang-orang yang ada disekitarku. Membuat mereka semua tersenyum !” ia tak bisa lagi membendung air mata itu. Semuanya jatuh.
Sei tersenyum hangat dan mengangguk pelan. Dan Aoba berusaha memeluk kakaknya itu sekali lagi. Meskipun perlahan ia mulai menghilang. Aoba hanya ingin memeluk Sei sekali lagi.
“Aku tau Aoba akan bisa berjalan kembali.” Sei menepuk halus kepala Aoba, meninggalkan rasa nyaman yang tak akan pernah Aoba rasakan kembali. “Aoba selamat tinggal.”
“Nii-saaaaaannnn.......”
Hilang, meninggalkan Aoba yang memeluk erat badannya sendiri. Dan ia pun tertidur kembali.


Semilir angin membuatnya terbangun. Di kedua pipinya terdapat bekas air mata. Masih sangat jelas semuanya, Sei yang selalu ia ridukan.
Ia pun tersadar, merasakan di tangan kanannya ia menggenggam sesuatu. Dilihatnya benda itu, dan ia pun tersenyum. Nyata, apa yang ia alami adalah kenyataan.
Sei yang selalu melihatnya dan Sei yang selalu ada di sebelahnya.
Nii-san, akan aku jaga ini seperti waktu itu. Dan aku akan membuat orang-orang yang ada si sekitarku tersenyum. Aku berjanji.”


Pemuda bersurai biru itu pun mulai beranjak dari tempat itu. Meninggalkan sebuket bunga matahari yang kini tengah bersender dengan nisan kayu.

“Aoba harus ingat, tak ada orang yang benar-benar sendiri di dunia ini. Begitu pula dengan Aoba.”


---OWARI---




terima kasih untuk lagu Tears by Ito Kanako. karena dengan lagu itu author akhirnya bisa cepet nyelesein ending untuk ini fanfic, meskipun harus absen 3 bulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About