Senin, 07 Oktober 2013

[Fanfic] EGOIST (D=OUT)

Title                 : EGOIST
Fandom           : D=OUT
Pairing             : Reika X Ibuki
Genre              : Drama, Romance, a bit Violence, Shounen-Ai
Rate                : PG 15
Declaimer        : Mereka milik D=OUT author cuma memiliki ceritanya saja

-Lycoris-


Sakit. Pemuda manis itu mengerang tertahan. Merasakan sakit di punggungnya, karena beberapa menit yang lalu ia ‘dilempar’ dengan paksa di samping tempat tidurnya dan punggungnya membentur lemari kayu oleh pemuda lain yang kini menatapnya dengan intens. Ia tak berani membalas tatapan ‘kejam’ itu, yang bisa lakukan hanya mengalihkan pandangannya pada lantai di sampingnya. Tatapan itu lebih menyakitkan daripada rasa sakit yang menjalar di punggungnya.
Ruangan itu sangat berantakan, semua yang tertata rapi di tempatnya sudah berceceran kemana-mana. Masih dapat ia lihat pula lantai berkeramik putih itu basah di beberapa sudut karena bekasnya. Baju yang ia pakai basah kutup karena hujan yang turun sangat deras malam itu dan ia dengan sengaja membiarkan dirinya terkena air hujan. Tapi ia sudah tidak peduli lagi dengan keadaannya yang menggigil.
Pemuda bermanik coklat itu sudah tak bisa lagi menangis untuk saat ini. Air matanya sudah mengering, hanya tersisa bekas di bawah matanya yang membengkak. Ia tak pernah menyangka bahwa pemuda di hadapannya yang sangat berharga untuknya tega melakukan hal itu kepadanya. Tapi ia sadar bahwa perbuatannya lah yang membuat pemuda berlesung pipi itu bertindak seperti itu.
Sebenarnya Reika, nama pemuda itu tak pernah bertindak kejam kepadanya sebelumnya. Namun bila kesabarannya telah habis dengan beringas ia akan membanting apa saja yang ada di depannya, termasuk dirinya yang sudah hidup serumah dengannya sejak 2 bulan yang lalu itu.
Awalnya ia tak pernah bermaksud membuat Reika marah hingga seperti ini. ia hanya ingin pergi sebentar, 3 hari. Namun masalahnya ia tak ijin terlebih dulu, dan dengan menggunakan adiknya Ken sebagai perantara untuk memberi tahu Reika. Hal itu yang membuat Reika marah besar kepadanya. Ken menyampaikan bahwa kakaknya ingin pergi yang Ken sendiri juga tidak tahu kemana.

One hours ago

Tok tok tok
Dengan sedikit ketakutan ia mengetuk pintu rumahnya. Debaran jantungnya berusaha ia tata dan otaknya sedang membayangkan kemungkinan terburuk tentang apa yang akan terjadi setelah ia pergi kemarin pagi tanpa adanya ijin dari sang pemilik rumah.
2 menit lebih ia menunggu di depan pintu. Bukan karena ia tak memiliki kunci rumah itu makanya ia masih berdiri dengan manis di depan pintu kayu bercat putih itu. Namun akan lebih ‘sopan’ bila ia mengetuknya dan mendapatkan respon dari sang empunya rumah. Tapi sepertinya orang yang sangat ia harapkan tak kunjung ke depan dan membuka pintu rumahnya. Padahal hari sudah mulai larut dan mendung terlihat berarak-arak pertanda akan turun hujan. Ia menatap sepeda motor besarnya dengan lesu. “Sepertinya ia marah.” Ia bergumam.
Namun tak berapa lama setelah itu, pintu kayu itu terbuka pelan menampakkan dengan perlahan sosok pemuda yang ia tunggu sedari tadi, Reika. Raut wajahnya dingin. Kedua matanya melihat Ibuki seakan tak pernah mengenal pemuda itu.
Dengan ragu-ragu Ibuki memberanikan diri membuka bibirnya yang mengatup itu. “Tadaima Reika.”
Reika tak langsung menjawab membuat Ibuki semakin gugup.
Gomennasai, aku...sudah pergi tanpa meminta ijin kepadamu lebih dulu.”
Reika masih terdiam, namun kedua mata yang menatap Ibuki itu seakan berkata ‘lalu ?’ Ibuki mengeratkan jemarinya pada tas selempang yang ia pegang.
“Aku tak bermaksud kabur dari rumah, gomen na Reika.” Ia menundukkan kepalanya pertanda ia menyesal, namun karena tak kunjung mendapat respon dari lawan bicaranya ia semakin kesal juga. Memang begitu lah Ibuki, ia bukan pemuda yang sabar menanti sesuatu.
Reika masih diam menatap gelagat Ibuki, ia menghembuskan nafas dengan berat. Kemudian tanpa Ibuki sadari, tangan kanan Reika telah menyeret tangan Ibuki masuk ke dalam rumah, dengan kekuatannya yang besar Reika sedikit mendorong Ibuki ke tembok ruang tamunya, memojokkan Ibuki yang masih terkaget atas perlakuan tiba-tiba Reika. Tubuh Reika menumpu pada lengan kanan yang ia tempelkan ke tembok, dengan wajah Ibuki yang berjarak sekitar 10 cm dari wajah Reika. Hembusan nafas Reika bisa dengan jelas Ibuki rasakan.
Sudah sering seperti ini. Biasanya perlakuan itu akan berakhir dengan ciuman lembut di bibir Ibuki, tapi tidak untuk situasi sekarang. Ibuki masih menduga-duga apa yang akan Reika lakukan setelah ini. Ibuki menelan ludah, mata Reika masih dingin namun lambat laut melunak.
“Kenapa kau pulang sekarang ? Bukannya kau ijin 3 hari menghilang, huuh.” Tatapan itu memang melunak tapi kata-kata tajam itu seakan menikam Ibuki.
Ibuki terdiam, bukannya ia tadi sudah meminta maaf kepada Reika dan jelas-jelas Ken sudah menceritakan kepada Reika bahwa ia akan pergi. Kenapa masih saja Reika bertanya. Memang itu lah sifat Ibuki, ia terlalu malu untuk meminta maaf untuk yang kedua kali dan menjelaskan untuk yang kedua kali pula.
Dengan kesal ia mendengus. “Bukannya aku sudah maaf atas kelakuanku.”
“Meminta maaf itu mudah, semua orang bisa melakukannya. Tapi aku butuh penjelasan darimu. Kenapa kau pergi tanpa pamit dariku ? Dan untuk apa kau pergi, hmm ?” Reika berusaha sebisa mungkin masih bertanya dengan halus namun serius.
Ibuki menggigit bibir bawahnya. “Aku tunggu jawabanmu Iki-chan..” Reika menatap mata Ibuki dengan serius, sedangkan yang di tatap sudah kehabisan kesabaran. Padahal seharusnya Reika yang sudah kesal sekarang bukan malah Ibuki.
“Bukankah Ken sudah memamitkannya kepadamu, dan Ken juga sudah menjelaskannya bukan ?! Aku pergi untuk membenahi diriku sendiri, untukmu dan kenapa kau malah menyuruhku untuk pulang sekarang ?! moodku sekarang sudah hilang !” nada bicara Ibuki sedikit meninggi namun ia masih bersikap acuh kepada pemuda yang ada di depannya, tanpa memikirkan perasaannya.
Reika menghembuskan nafasnya pelan, ia tersenyum. “Hmmm ya sudah kalau kau seperti itu, pergi saja dan kau tak usah repot-repot pulang.” Tiba-tiba Reika menonjok tembok samping Ibuki dengan tangan kirinya. Ibuki terperangah dengan tindakan Reika, ia tak pernah menduga pemuda yang selalu terlihat sabar dalam bertindak itu melakukan hal tersebut.
“Bukankah dari awal kau yang sudah menyuruhku untuk pergi.” Ucap Ibuki di tengah keterkejutannya.
Senyuman Reika tak luntur namun senyuman itu berbeda dari biasanya, ada rasa sakit di dalamnya. Hal itu yang yang membuat Ibuki terdiam dengan rasa bersalah yang semakin menumpuk, tapi ia tak pernah mau mengakuinya. Entah datangnya dari mana rasa sesak yang kini tengah Ibuki rasakan.
“Sekarang terserah kau saja, aku memberikan kebebasan kepadamu untuk pergi dan tak perlu lagi untuk kembali kepadaku. Menghilang saja sesukamu.”
Ibuki menunduk menahan genangan yang dengan sekali kedip akan menetes. Ia tak tahu kenapa rasanya sesakit ini melihat senyuman Reika. Ini pertama kalinya Ibuki melihat senyuman Reika yang seperti itu.
“Bayangkan saja bila kamu yang ada di posisiku. Pergi 3 hari, iya kalau pulang tapi kalau tidak ?!” Reika mengangkat dagu Ibuki menatap manik yang sudah akan meneteskan bening asin.
“Kalau aku berkata pulang aku pasti pulang.” Ibuki berkata lirih dan menampik tangan Reika, ia kembali menunduk menahan semua perasaannya yang bercampur aduk.
Reika kembali menghembuskan nafas, ia tak tahu harus bersikap bagaimana lagi untuk menghadapi pemuda manis di depannya. Apakah Ibuki tak tahu bahwa semalaman ia tak bisa tidur karena memikirkannya. Berpuluh-puluh kali mencoba menghubunginya namun tak membuahkan hasil karena keitainya di matikan. Mungkin ada 10 pesan suara yang ia kirim untuk Ibuki, tapi sepertinya Ibuki campakkan. E-mail ? sudah tak terhitung berapa kali ia mengirim e-mail yang ia tahu sampai sekarang pun tak terbaca oleh Ibuki. Jika saja Ibuki mengerti walau sedikit saja kekhawatiran yang telah Reika rasakan. Reika sudah hampir di akhir batas kesabarannya, namun sekali lagi ia mencoba untuk mengerti. Ibuki memang seperti itu, dia bukanlah pemuda yang gampang menurut. Terbukti berkali-kali Ibuki meronta bila Reika tiba-tiba memeluknya dengan erat di tengah kegiatan asyiknya.
Dua bulan bukan waktu yang sebentar untuk merubah sikap dan sifat Ibuki yang keras kepala dan semaunya sendiri itu. Tapi dengan penuh pengertian layaknya seorang pasangan yang harus selalu mengarahkan pasangannya ke yang lebih baik maka dengan kesadaran penuh Reika selalu melakukannya. Ibuki bukannya tak mau menjadi seorang pasangan yang penurut, ia juga sudah berkali-kali berjanji kepada dirinya sendiri bahwa ia akan berubah dan memberikan perhatian yang lebih kepada Reika. Namun karena keras kepalanya serta rasa gengsi yang dominan maka sering kali ia melanggar janjinya.
“Apa yang kau dapat dengan kepergiannmu itu huuh ? Apa kau tak pernah memikirkanku ? Apa kau tak memikirkan aku yang mengkhawatirkanmu ?! Apa yang ada di fikiranmu hanya keegoisanmu semata ?” ucapan Reika meninggi ia sudah hampir kehabisan kesabarannya menghadapi Ibuki.
“Aku...aku hanya mendapat kau yang marah-marah tak jelas kepadaku sekarang!”
“Oh tak jelas ya.” Reika tersenyum dengan keterpakasaan sekali lagi. “Gomen kalau aku sudah marah-marah tidak jelas kepadamu Iki-chan.”
Bisa Ibuki rasakan pipinya yang dingin itu dielus oleh jemari hangat Reika. Jika saja Ibuki menyingkirkan sifat keras kepalanya itu maka saat itu juga ia akan memeluk tubuh yang tegap itu. Yang Ibuki lakukan malah sebaliknya, ia membuang muka dengan kasar. “Aku tahu kau telah lelah dengan hubungan ini kan, kau lelah dengan aku yang seperti ini bukan ? Bilang saja jangan malah seperti ini.”
Reika menghentikan aktifitasnya, ia terdiam. Apakah malah ini yang Ibuki pikirkan, apa semua yang telah ia lakukan untuknya hanya berarti seperti ini ?
“Baiklah kalau kau menginginkan ini, kita berdua memang sudah lelah. Aku tahu semua yang aku lakukan hanya kau pandang dengan sebelah mata, dan aku juga tahu kalau semua yang aku lakukan tak pernah berarti, hanya seperti butiran debu yang hanya bisa mengganggumu. Dan artiku untukmu hanya seperti sekelebat bayangan yang hanya bisa membuntuti sosokmu tanpa bisa meraih hatimu. Semuanya memang harus kita sudahi, hubungan ini berat sebelah. Hanya aku yang mencoba mempertahankannya sedangkan kau malah mencoba untuk meruntuhkan pondasi yang telah aku buat. Kita memang berbeda Iki-chan, terima kasih sudah menahan perasaan lelah selama ini.” Reika menepuk kepala Ibuki dengan lembut meskipun sekarang hatinya hancur. Semua yang ia lakukan percuma, semuanya sia-sia. Jadi ini yang pada akhirnya ia dapatkan. Inilah akhir dari perjuangannya untuk Ibuki, ia yang berjuang sendiri mempertahankan hubungan ini dan pada akhirnya ia juga yang harus menanggung sakit yang terdalam.
Bisa Reika lihat Ibuki menunduk, dan detik berikutnya Reika membalikkan badan.
“Terima kasih untuk semuanya Rei, aku akan pulang ke rumahku sekarang.” Ibuki sudah berjalan melewati pintu namun lagi-lagi Reika yang dengan sigap itu menariknya, membuat kedua pasang mata mereka bertemu. “Sudah malam dan sebentar lagi hujan akan turun. Bermalamlah disini, gunakan kamar kita aku akan tidur di sofa depan tv.”
“Aku hanya tidak mau lebih merepotkanmu.” jawab Ibuki.
“Aku hanya mengkhawatirkanmu, itu saja.”
Ibuki sudah bersiap untuk melepaskan tangan Reika yang dengat kuat menahan tangannya. “Sudah tak ada yang perlu di khawatirkan sekarang.”
Reika, ia heran dengan jalan fikiran (mantan) pasangannya itu. “Terserah apa katamu.” Ia tetap menarik paksa Ibuki untuk masuk ke dalam rumahnya.
“Kalau aku bilang tidak perlu ya tidak perlu, kenapa kau masih memaksaku juga !” Reika berbalik dan menatap Ibuki. Ck, kenapa malah jadi bertambah berat begini, batinnya.
“Teruskan saja sifatmu itu !” ia menatap tajam mata Ibuki. “Apakah harus aku yang setiap hari terus mengalah dan selalu mengejarmu ?! Apakah hanya aku yang terus-menerus berfikir bahwa suatu hari nanti kau akan merasakan apa yang selama ini aku rasakan ?!”
“Hentikan ! kita sudah tak ada hubungan apa-apa bukan !? jadi berhentilah memaksaku !” Ibuki tahu sebenarnya bukan itu yang ingin ia katakan, tapi sepertinya hati dan bibirnya tidak pernah sejalan.
“Jujur, aku tak pernah bisa mengerti dengan jalan pikiranmu itu. Aku biarkan kau tapi dianggap aku tak peduli terhadapmu, dan ketika aku peduli tapi kau seperti ini. Sampai kapan kau mau mengerti diriku ?” Reika mendesah pelan. Semua yang ia rasakan selama ini ia curahkan, tapi sepertinya ini sudah terlambat. Selama 2 bulan mereka bersama ia belum tahu jalan pikiran Ibuki, selama itu juga ia harus mengalah. Jadi mungkin ini adalah batasnya, batasnya untuk selalu bersikap sabar di depannya. Reika melepaskan tangan Ibuki, tapi entah kenapa ini semua malah membuatnya ragu akan keputusannya untuk mengakhiri hubungan mereka berdua.
“Aku akan pulang.”ucap Ibuki singkat. Sebenarnya bukan Reika saja yang  merasa seperti itu, Ibuki juga mengalami perasaan yang sama. Tapi sekali lagi sifat keras kepalanya lebih dominan dari pada ia harus berkata ‘maaf’ dan ‘aku menyesal’.
Tanpa sepengetahuan Ibuki sebelumnya, Reika menarik tubuhnya hingga jatuh ke dalam pelukannya. Dengan lembut pemuda bersurai coklat tua itu mengelus kepala Ibuki. “Mungkin ini untuk yang terakhir kali.” ia membisikkan kata-kata tepat di samping telinganya, “Aishiteru..”
Ibuki membeku, ‘yang terakhir’ jadi ini memang yang terakhir kali. Kedua bola mata Ibuki memanas, tapi genangan di matanya itu masih berusaha ia tahan agar tak jatuh di depan pemuda yang sangat ia cintai itu. Ibuki tak ingin terlihat lemah di depan Reika.
Reika melepas pelukannya, ia menepuk kepala Ibuki. “Ya sudah, pulanglah. Hati-hati.” Reika kemudian berbalik badan, meninggalkan Ibuki yang masih terdiam.
Sudah tak ada gunanya’ kemudian dengan berat Ibuki berjalan menuju sepeda motor besarnya, menggunakan helm dan membenarkan letak tasnya.
Reika sudah menutup pintu rumahnya. Hatinya sakit, perasaannya hancur. Jadi inikah yang namanya ‘patah hati’ ? Ia tak berani menatap Ibuki yang kini sudah bersiap akan pulang ke rumahnya sendiri. Tak berapa lama kemudian bisa ia dengar mesin sepeda motor menyala, dan semakin lama suara itu menjauh, menandakan ia telah pergi dari sana.
Reika sedikit membuka korden jendelanya, hujan mulai turun dan sepertinya akan semakin deras. Ia mengkhawatirkan Ibuki yang sendirian menerobos hujan. Walau bagaimana pun juga sebenarnya ia tak pernah rela bila harus berpisah. Hubungan ini terlalu singkat. Tidak seperti hubungan Reika dengan Rui dulu. Padahal perasaannya kepada Ibuki jauh lebih kuat dibanding dengan perasaanya kepada Rui. Tapi kenapa malah kepada Ibuki lah hubungannya dengan cepat berakhir ?
Tatapan matanya kosong, ia sangat lelah sekarang. Semalaman ia terjaga. Dengan langkah malas ia menuju kamar tidurnya. Biasanya dia akan menemukan Ibuki yang tidur duluan jika Reika pulang larut dari kerjanya. Dengan lembut ia akan mengelus wajah damai itu dan memberi ciuman selamat tidur di keningnya, tapi itu dulu. Sekarang yang ia lihat hanya ranjang berukuran queen size dengan dua bantal dan satu guling, tak ada sosok itu.
Reika membaringkan tubuhnya yang lelah di kasur itu, pandangannya kosong menatap langit-langit kamarnya yang berwarna pastel. Pikirannya tak bisa lepas dari pemuda yang memiliki bibir manis itu.
“Iki-chan...” ia bergumam. Kemudian kedua maniknya ia alihkan ke jendela kaca di sebelahnya. Hujan turun dengan sangat deras, petir sesekali terdengar. “Hhhh..” ia menghembuskan nafas dengan berat. ‘Aku harap dia tidak kenapa-napa.’ batinnya.

Ibuki mengendarai sepeda motornya dengan sangat cepat, tak mempedulikan berkali-kali klakson mobil yang ditunjukkan sopirnya kepadanya. Bisa dibilang malam itu Ibuki berkendara dengan sangat ugal-ugalan. Ia tak mempedulikan hujan turun dengan sangat deras yang mengaburkan pandangan itu. Rasa sakit yang ditimbulkan oleh percikan hujan pun tak ia indahkan, karena rasa sakit yang baru saja ia alami jauh lebih sakit dari apapun. Entah ia sadari atau tidak air mata itu jatuh begitu saja, deras sederas hujan malam itu. Ia tak pernah membayangkan tindakannya itulah yang menyebabkan ini semua berakhir dengan cepat.
Reika, pemuda bermanik hazel itu yang mampu menghipnotisnya. Ia adalah pria pertama yang berhasil merebut hati Ibuki. Meskipun Reika tak pernah memperlihatkan sikap perhatiannya di depan umum tapi ia bisa merasakan bahwa perasaan Reika kepadanya sangat lah kuat. Meskipun Ibuki menyadari bahwa sifatnya yang keras kepala itu telah banyak melukai hati Reika.
Sikap dan sifat Reika lah yang membuat Ibuki berangsur-angsur melunak, meskipun terkadang ia masih saja memberontak jika tiba-tiba Reika memberikan perlakuan ‘manis’ kepadanya. Ia masih merasa malu dan canggung, meskipun sebenarnya Ibuki juga menikmatinya.
Pemuda berambut sedikit bergelombang itu juga yang pertama menyentuh Ibuki. Meskipun pada awalnya Ibuki tak pernah mau melakukannya, mengingat mereka adalah sesama lelaki. Dalam hati ia masih sedikit menampik perasaannya kepada Reika. Mana mungkin mereka yang sama-sama pria bisa hidup bersama seperti sepasang pasangan ‘normal’ pada umumnya. Namun virus yang bernama cinta itu mampu mengalahkan semuanya, bahkan gender sekalipun. Perasaan itu perlahan muncul, tumbuh, dan berkembang.
Ibuki segera memutar arah sepeda motornya, kembali ke rumah bercat pastel itu. Ia menyadari perasaannya tak bisa berhenti sampai disitu, dan ia tahu bahwa yang akan menanggung sakit paling besar adalah Reika. Oleh karena itu ia memutuskan untuk kembali dan meminta maaf. Tapi apakah ia akan secara gamblang mengungkapkan perasaannya. Bahkan berkata ‘daisuki’ pun itu sangat berat untuknya. Tak mau tahu lagi, ia semakin cepat menarik gas sepeda motornya itu meskipun kini ia sudah basah kuyup dan menggigil kedinginan.

Reika masih belum memejamkan mata ketika sebuah ketukan terdengar dari pintu rumahnya. Dengan malas ia bangun dari kasurnya menuju ke depan. Sebelum memutar kunci ia mengintip dari balik jendela samping pintu. Ia mendengus pelan.
Tatapan Reika tak seperti tadi ketika pertama kali melihat Ibuki kembali dari perjalan antah berantahnya. Malas, itulah yang terbaca dari kedua bola mata indah itu. Ibuki basah kuyup dan sedikit menggigil. Tanpa ba bi bu Reika berjalan ke kamar mandi yang berdekatan dengan dapur itu. mengambil handuk yang menggantung di jemuran sebelah pintunya. Ibuki tak berani memandang Reika, sedari tadi ia hanya menunduk. Reika kembali dengan handuk di tangan, segera ia meletakkan handuk itu di kepala Ibuki. Ibuki tak beraksi dengan perlakuan Reika tadi meskipun ia menggigil.
Reika sudah malas menghadapinya, Ibuki yang kekanak-kanakan. Maka dari itu ia membiarkan Ibuki berdiri disitu entah sampai kapan. Ia sudah akan berbalik badan menuju dapur untuk membuatkan teh panas untuknya ketika tangan Ibuki dengan erat menggenggam pergelangan tangan kanan Reika, ia menoleh menatap sosok yang sangat ia cintai itu.
Plak !
Tanpa Reika sadari Ibuki telah berhasil menampar pipi kanan Reika. Yang ditambar terdiam, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Punggung Ibuki bergetar, ia mengenggam tangan yang baru saja ia gunakan untuk menampar itu. “Sampai kapan kau akan peka dengan perasaanku selama ini ?! Apa kau sadar bahwa aku menjadi seperti ini semua gara-garamu ?! Perasaan ini tumbuh karena semua perlakuanmu kepadaku, dan kini....kini kau tak mau bertanggung jawab atas apa yang telah kau lakukan ?! Lalu kepada siapa aku harus meluapkan perasaanku kalau bukan kepadamu huuh ?!”
Reika terdiam, memegangi pipinya yang sedikit memerah. Nafas Ibuki tersengal, “Aku tak pernah ingin berpisah denganmu ! harus berapa kali aku harus mengatakannya ?! Aku tak pernah ingin...” Ibuki akhirnya menangis. Dia meruntuki kebodohannya sendiri, ia tak mengerti dengan dirinya sendiri. Dan tamparan itu, ia tak pernah menampar siapa pun tapi dengan apa yang baru saja terjadi, ia telah berani menampar Reika.
Reika menarik paksa tangan Ibuki dengan kasar menuju kamar tidurnya. Ia tak menghiraukan sensasi panas pipinya. Ibuki yang masih masih kuyup itu hanya bisa menurut dengan perlakuan kasar Reika.
Setelah sampai di kamar yang didominansi warna kuning pucat itu, dengan cepat ia melepas genggaman tangannya pada pergelangan Ibuki, meninggalkan warna sedikit merah. Ibuki tak mengerang atau pun apa, ia hanya menurut. Baginya sudah cukup jelas bahwa ia tak pernah ingin berpisah dengan Reika.
Reika menatap Ibuki yang terdiam itu “Jika kau memang tak pernah ingin berpisah denganku maka tunjukkan dengan sifat dan sikapmu. Bukan kau yang malah memberontak dan main hilang  begitu saja, dan pulang-pulang dengan menamparku seperti ini.” Reika melunak berusaha membuat Ibuki lebih tenang. “Perlakuanmu itu yang membuatku ragu apakah benar kau tak ingin berpisah dariku atau tidak. Sejujurnya aku hampir saja menyerah memperjuangkan hubungan ini.”
Ibuki menggigit bibir bawahnya, merasakan setiap perkataan yang Reika keluarkan. “Jika kau benar-benar mencintai orang itu, maka jagalah baik-baik dia bukan malah kau perlakukan semaumu sendiri. Ingat, dia punya hati.” Reika menunjuk ke dadanya sendiri.
“Aku sudah berusaha tapi dia tak pernah peka.” ucap Ibuki lirih, diikuti pandangan Reika yang berusaha menerobos ke dalam hatinya.
“Apakah hanya sebesar itu usahamu untuk mempertahankan sebuah hubungan agar berumur panjang ? Tak semua orang mengerti dengan apa yang kita rasakan, oleh karenanya diperlukan tindakan. Kau memang mencintainya dan tak ingin berpisah tapi jika kau hanya memendam perasaanmu dan memperlakukan dia dengan kasar, tak akan ada yang kau dapat. Hanya sakit hati.” Reika mengelus puncak kepala Ibuki.
“Selama kau menyanyangi orang itu maka tak akan ada yang berakhir jika kau mau mencoba, namun jika kau tak mau mencoba itu bukan cinta.” Reika tersenyum di akhir kalimatnya.
“Kalau aku tak menyayanginya kenapa aku kembali di hadapannya sekarang ?”
Reika mengambil nafas dan menghembuskannya dengan pelan, “Mungkin untuk menampar orang itu makanya dia kembali.” Ibuki tak bisa berkata apa-apa lagi, ia menyadari ia yang salah namun ia masih tak bisa harus mengakuinya secara terang-terangan.
“Sudah lah sekarang kau cepat mandi, akan aku siapkan air hangat untukmu setelah itu istirahatlah.” Reika beranjak dari tempatnya menuju ke dapur, namun baru saja ia akan melewati pintu Ibuki buru-buru mengambil kunci motornya yang tergeletak di meja tak jauh darinya. “Jangan perlakukan aku seperti anak kecil, aku akan pulang sekarang.”
Sudah habis kesabaran Reika, ia sudah tak tahan lagi. Niatan baik darinya hanya mendapat respon yang seperti ini. Dengan sigap ia menarik lengan Ibuki kemudian dengan kuat ia membanting tubuh yang tak siap itu hingga membentur lemari samping tempat tidurnya. Belum sempat Ibuki mengeluh sakit yang luar biasa di punggungnya Reika telah bersuara dengan sangat keras.
“AKU LELAH BICARA DENGANMU ! SIFAT DAN SIKAPMU TAK ADA YANG BERUBAH ! TAK BISAKAH KAU MENGERTI PERASAANKU SELAMA INI ?! KAU KETERALUAN IBUKI !!”
Deg!
Ibuki ? Reika tak pernah memanggilnya dengan nama itu, karena sejak mereka menjalin hubungan itu Reika memanggilnya dengan ‘Iki-chan’. Bila Reika sudah memanggilnya dengan nama itu berarti memang Reika sudah kehilangan kendali dan ia sangat marah.
“Aku memintamu untuk berpikir bukan malah pergi ! berbeda dengan perlakuan baikku untukmu yang selalu kau respon dengan ‘sudah’ dan bila aku berhenti dan tak melakukan apa-apa kau hanya berkata ‘itu saja’ !” geramnya menatap Ibuki, kemudian dengan kasarnya ia membanting beberapa perabot kaca yang ada di atas meja tak jauh darinya, dan juga beberapa benda koleksinya juga tak luput dari ‘aksi’ bantingannya. Bahkan bass pemberian Ibuki di hari ulang tahun Reika itu pun menjadi sasaran. Mata Ibuki membulat sempurna menyaksikan Reika yang kini sudah tak bisa dikendalikan. Bulir-bulir asin itu mengalir dengan deras tak bisa ia tahan. Ia menangis bukan karena sakit di punggungnya, tapi lebih dari itu, menyaksikan Reika yang sudah kehilangan kendali.
Selama beberapa saat ia membiarkan Reika melakukan apa saja yang ia mau, membanting, menendang, bahkan meninju tembok. Ibuki hanya terisak tertahan, menutupi kedua telinganya dari suara berisik yang Reika timbulkan serta suara petir yang menggelegar di luar sana. Hanya memeluk kedua lututnya lah yang bisa ia lakukan sekarang.


Nafas Reika memburu, wajahnya memerah menahan amarah. Ia tak pernah semarah ini sebelumnya, ia tak pernah sesakit ini sebelumnya. Ibuki benar-benar telah membuatnya hilang kendali, Reika lama kini muncul kembali.
Kedua mata tajamnya menatap sosok yang meringkuk lemah itu. Ia tahu Ibuki tadi menangis meskipun pelan, meskipun sekarang sudah tak bisa ia lihat air mata itu jatuh. Hanya bengkak di bawah mata yang kini tersisa. Setelah di rasa ia sedikit tenang dihampirinya tubuh yang lebih kecil darinya itu. Reika berjongkok menyetarakan tingginya dengan Ibuki, “sekarang terserah padamu, mau melanjutkan hubungan ini atau tidak. Jika kau masih bisa menahan rasa lelah ini aku bisa terima, tapi  aku sudah tak bisa memilih, aku angkat tangan.” ucapnya dingin yang disambut dengan tatapan tak terbaca oleh Ibuki.
“Percuma saja bila kau sudah menyerah, hanya keterpaksaan dan rasa sakit bila harus dipertahankan.” ujarnya pelan dengan senyuman yang menunjukkan kesedihan.
Reika tak berpaling, ditatapnya terus mata coklat yang kini telah memerah itu. “Aku tak pernah berniat membuat hubungan ini dengan sebuah keterpaksaan, tapi jika kau memilih untuk tetap mempertahankannya namun sifatmu itu tak kau rubah..maka tak ada pilihan lain.”
Ibuki kembali membeku dengan perkataan Reika. “Tak akan ada hubungan yang akan bertahan lama dengan keterpaksaan.”
“Oleh karena itu, rubahlah sifatmu !” Reika membentak kembali, Ibuki membuang muka. Digigitnya kembali bibir bawahnya. Reika menjadi merasa bersalah lagi, tak seharusnya ia membentak Ibuki kembali.
Nee..” Reika meraih dagu Ibuki, membawa Ibuki berpaling menatap mata Reika. “Aku hanya ingin kau berubah, untuk hubungan kita ini...”
Mata Ibuki memanas kembali, dengan halus ia menampik tangan Reika, “Gomen Rei, aku sudah mencobanya dan aku telah gagal. Aku hanya takut membuatmu lebih sakit dari ini. Aku...aku tak pantas untukmu.”
Tes..
Setetes air mata jatuh kembali melewati pipi Ibuki yang dingin. Dengan halus Reika meraih pipi itu dan mengelusnya dengan penuh kasih sayang, seperti biasanya. “Kau tahu, tak ada yang tak pantas untuk seseorang, semuanya pantas. Hanya bagaimana membuat diri kita pantas untuk orang itu dengan sikap kita.”
Hangat, ucapan Reika memang selalu hangat, dan caranya memperhatikannya itulah yang Ibuki rindukan. Ibuki tak yakin akan mendapatkan sosok layaknya Reika atau tidak jika ia harus mengakhiri sampai disini. Perasaannya tak boleh berhenti hanya sampai disini, ia ingin perasaan itu semakin jauh dan semakin dalam. Tapi...apakah ia sanggup ?
Aku...aku sudah gagal Rei.” Ibuki tersenyum kecut.
Reika menghentikan aktifitasnya, namun tangan yang hangat itu masih memegang pipi Ibuki. “Apa yang kau coba hmm ? menunggumu yang hujan-hujanan seperti tadi, baru kau mau jujur ? menunggu dikejar ?”
Yamette Rei..” Ibuki mengalihkan wajahnya lagi. “Aku..aku sudah gagal menjadi orang yang baik untuk seseorang yang aku sayangi, aku gagal.”
Reika membawa pandangannya ke sembarang arah, “Coba sekali lagi, sebelum orang itu benar-benar tak peduli denganmu.” Ibuki membulatkan kedua matanya tanpa bisa Reika lihat.
Apakah ini tanda bahwa Reika memberinya kesempatan kedua ? memperbaiki semuanya sebelum terlambat ? Namun bisakah ia benar-benar berubah ?
‘Selama kau menyanyangi orang itu maka tak akan ada yang berakhir jika kau mau mencoba, namun jika kau tak mau mencoba itu bukan cinta’ kata-kata Reika beberapa saat yang lalu itu seketika saja memenuhi pikiran Ibuki. Benar, perkataan Reika tadi benar, selama ia mencoba pasti hubungan itu tak akan berakhir.
“Rei..” Ibuki memegang kedua tangan Reika, membuat Reika yang tadi tidak fokus itu kembali ke realita dan menatap manik coklat Ibuki.
“Tolong, bimbing aku agar perasaanku padamu ini semakin kuat dan dalam. Tolong ajari aku bagaimana membuat perasaanku tersampaikan dengan perbuatan. Tolong ajari aku untuk membuat bunga yang telah mekar di dalam hatiku ini menjadi banyak. Tolong ajari aku untuk  bisa mencintaimu dengan mata, telinga, hidung, tangan, fikiran, dan perasaanku. Tolong aku....Rei.” Ibuki berkata lirih namun bisa Reika rasakan ada kesungguhan di setiap perkataannya.
Belum sempat Reika menjawab, Ibuki memeluknya. “Da..daisuki Reika.”
Reika terkaget, memang ini bukanlah pertama kali Ibuki mengucapkannya, tapi ada yang lain. Sesuatu yang terasa hangat dan nyaman ketika ia mendengarnya. Ia tersenyum, membelai rambut yang setengah basah itu dengan halus.
Suki da Iki-chan.” Ucapan itulah yang membuat Ibuki mengeluarkan air mata kembali, tapi ini air mata bahagia. Dia berjanji akan merubah semua sifat dan sikapnya kepada Reika.
Reika yang bisa mendengar Ibuki menangis itu semakin mempererat pelukannya. “Yosh yosh...sudahlah untuk apa kau menangis, baka.” Reika mengejek Ibuki yang membuat Ibuki segera melepaskan pelukannya.
“Yang kau panggil baka ini menangis karenamu, bodoh.” Ibuki sedikit memajukan bibirnya. Reika yang melihatnya hanya terkikik pelan.
“Apa yang lucu..” Ibuki mencubit pipi Reika. Membuat Reika menghentikan cekikikannya. “Warui warui...
Kemudian tangan Ibuki yang masih mencubit pipinya itu ia genggam. Manik Reika menatap manik Ibuki, membuatnya sedikit merona. “Mungkin ini terdengar klise untuk sebagian orang dan bahkan untukmu. Tapi...aku bahagia bisa bersamamu lagi dan yang terpenting kau mau berubah.” Reika mengakhiri ucapannya dengan senyum khasnya. Hal ini yang membuat Ibuki semakin merona dan membuang wajahnya.
“Hei..jangan kau buang wajah manismu itu ketika kau sedang malu.” Goda Reika yang kontan membuat Ibuki memandang wajah puas Reika.
Mo...kau memang menyebalkan !” Ibuki bersiap berdiri, namun Reika yang masih memegang tangan Ibuki itu menariknya hingga membuat Ibuki jatuh tepat di atas pangkuan Reika.
“Padahal aku belum memberikan hukuman padamu. Kau mau main pergi lagi.” Reika memeluk Ibuki dari belakang. Ibuki yang antara kaget dan malu hanya bisa mendengus. “Lepaskan Rei, aku mau mandi. Aku basah kuyup. Dan hukuman apa, aku sudah mendapat hukuman darimu.”
Reika menaikkan sebelah alisnya, “Aku belum memberikan apa-apa kepadamu baka.”
Ibuki menghembuskan nafas, percuma ia mencoba melepaskan pelukan Reika. “Memangnya dengan kau membantingku tadi tidak menyebabkan sakit di punggungku huuh ? itu hukuman yang secara sadar atau tidak yang sudah kau berikan untukku.”
Segera setelah Ibuki berkata, tanpa Ibuki sadari Reika sedikit mengangkat baju bagian belakang Ibuki. Ada bekas memar disana, membuat Reika merasa bersalah. “Gomen Iki-chan. Aku tak bermaksud melakukan itu terhadapmu, tapi aku akan mengobatinya.”
Belum sempat Ibuki berkata, bisa Ibuki rasakan ada sesuatu yang hangat menyentuh punggung itu.
Reika mencium punggung yang memar Ibuki, yang sontak membuatnya bergidik antara kaget, malu, dan menikmatinya.
Chotto..apa yang kau lakukan ??” Ibuki dengan sekuat tenaga berhasil berbalik badan, menatap Reika.
“Apakah kurang ? tapi memang bukan sampai disitu saja aku akan mengobatinya kok, jadi kau jangan cemas. Nee Iki-chan..”
Senyum itu lagi, senyum yang Ibuki benci dan takuti. Itu bukan senyuman yang selalu membuat Ibuki merona, tapi lebih ke seringai. Bila Reika sudah seperti itu, ia akan bertindak ‘lebih’ kepadanya.
Ibuki sedikit memundurkan badannya, tapi ternyata Reika sudah menduganya. Dengan kuat kedua lengan Reika mengikat badan Ibuki, sehingga Ibuki tak bisa bergerak macam-macam. Tapi bukankah Reika yang sekarang macam-macam. Ibuki hanya bisa menelan ludahnya, inilah dia the real Reika.
Reika mendekatkan wajahnya kepada Ibuki, dan membisikkan sesuatu tepat di telinga Ibuki ” “Diamlah, aku akan ‘mengobatimu’..”

----OWARI----











Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About