Fandom :
D=OUT
Pairing :
Reika X Ibuki
Genre :
Drama, Romance, a bit Violence, Shounen-Ai
Rate :
PG 15
Declaimer :
Mereka milik D=OUT author cuma memiliki ceritanya saja
-Lycoris-
Sakit. Pemuda manis itu mengerang tertahan. Merasakan sakit
di punggungnya, karena beberapa menit yang lalu ia ‘dilempar’ dengan paksa di
samping tempat tidurnya dan punggungnya membentur lemari kayu oleh pemuda lain
yang kini menatapnya dengan intens. Ia tak berani membalas tatapan ‘kejam’ itu,
yang bisa lakukan hanya mengalihkan pandangannya pada lantai di sampingnya.
Tatapan itu lebih menyakitkan daripada rasa sakit yang menjalar di punggungnya.
Ruangan itu sangat berantakan, semua yang tertata rapi di tempatnya
sudah berceceran kemana-mana. Masih dapat ia lihat pula lantai berkeramik putih
itu basah di beberapa sudut karena bekasnya. Baju yang ia pakai basah kutup
karena hujan yang turun sangat deras malam itu dan ia dengan sengaja membiarkan
dirinya terkena air hujan. Tapi ia sudah tidak peduli lagi dengan keadaannya
yang menggigil.
Pemuda bermanik coklat itu sudah tak bisa lagi menangis
untuk saat ini. Air matanya sudah mengering, hanya tersisa bekas di bawah
matanya yang membengkak. Ia tak pernah menyangka bahwa pemuda di hadapannya
yang sangat berharga untuknya tega melakukan hal itu kepadanya. Tapi ia sadar
bahwa perbuatannya lah yang membuat pemuda berlesung pipi itu bertindak seperti
itu.
Sebenarnya Reika, nama pemuda itu tak pernah bertindak kejam
kepadanya sebelumnya. Namun bila kesabarannya telah habis dengan beringas ia
akan membanting apa saja yang ada di depannya, termasuk dirinya yang sudah
hidup serumah dengannya sejak 2 bulan yang lalu itu.
Awalnya ia tak pernah bermaksud membuat Reika marah hingga
seperti ini. ia hanya ingin pergi sebentar, 3 hari. Namun masalahnya ia tak
ijin terlebih dulu, dan dengan menggunakan adiknya Ken sebagai perantara untuk
memberi tahu Reika. Hal itu yang membuat Reika marah besar kepadanya. Ken
menyampaikan bahwa kakaknya ingin pergi yang Ken sendiri juga tidak tahu
kemana.
One
hours ago
Tok tok tok
Dengan sedikit ketakutan ia mengetuk pintu rumahnya.
Debaran jantungnya berusaha ia tata dan otaknya sedang membayangkan kemungkinan
terburuk tentang apa yang akan terjadi setelah ia pergi kemarin pagi tanpa
adanya ijin dari sang pemilik rumah.
2 menit lebih ia menunggu di depan pintu. Bukan karena ia
tak memiliki kunci rumah itu makanya ia masih berdiri dengan manis di depan
pintu kayu bercat putih itu. Namun akan lebih ‘sopan’ bila ia mengetuknya dan
mendapatkan respon dari sang empunya rumah. Tapi sepertinya orang yang sangat
ia harapkan tak kunjung ke depan dan membuka pintu rumahnya. Padahal hari sudah
mulai larut dan mendung terlihat berarak-arak pertanda akan turun hujan. Ia
menatap sepeda motor besarnya dengan lesu. “Sepertinya ia marah.” Ia bergumam.
Namun tak berapa lama setelah itu, pintu kayu itu terbuka
pelan menampakkan dengan perlahan sosok pemuda yang ia tunggu sedari tadi,
Reika. Raut wajahnya dingin. Kedua matanya melihat Ibuki seakan tak pernah
mengenal pemuda itu.
Dengan ragu-ragu Ibuki memberanikan diri membuka bibirnya
yang mengatup itu. “Tadaima Reika.”
Reika
tak langsung menjawab membuat Ibuki semakin gugup.
“Gomennasai,
aku...sudah pergi tanpa meminta ijin kepadamu lebih dulu.”
Reika masih terdiam, namun kedua mata yang menatap Ibuki
itu seakan berkata ‘lalu ?’ Ibuki mengeratkan jemarinya pada tas selempang yang
ia pegang.
“Aku tak bermaksud kabur dari rumah, gomen na Reika.” Ia menundukkan kepalanya pertanda ia menyesal,
namun karena tak kunjung mendapat respon dari lawan bicaranya ia semakin kesal
juga. Memang begitu lah Ibuki, ia bukan pemuda yang sabar menanti sesuatu.
Reika masih diam menatap gelagat Ibuki, ia menghembuskan
nafas dengan berat. Kemudian tanpa Ibuki sadari, tangan kanan Reika telah
menyeret tangan Ibuki masuk ke dalam rumah, dengan kekuatannya yang besar Reika
sedikit mendorong Ibuki ke tembok ruang tamunya, memojokkan Ibuki yang masih
terkaget atas perlakuan tiba-tiba Reika. Tubuh Reika menumpu pada lengan kanan
yang ia tempelkan ke tembok, dengan wajah Ibuki yang berjarak sekitar 10 cm
dari wajah Reika. Hembusan nafas Reika bisa dengan jelas Ibuki rasakan.
Sudah sering seperti ini. Biasanya perlakuan itu akan
berakhir dengan ciuman lembut di bibir Ibuki, tapi tidak untuk situasi
sekarang. Ibuki masih menduga-duga apa yang akan Reika lakukan setelah ini.
Ibuki menelan ludah, mata Reika masih dingin namun lambat laut melunak.
“Kenapa kau pulang sekarang ? Bukannya kau ijin 3 hari
menghilang, huuh.” Tatapan itu memang melunak tapi kata-kata tajam itu seakan
menikam Ibuki.
Ibuki terdiam, bukannya ia tadi sudah meminta maaf kepada
Reika dan jelas-jelas Ken sudah menceritakan kepada Reika bahwa ia akan pergi.
Kenapa masih saja Reika bertanya. Memang itu lah sifat Ibuki, ia terlalu malu
untuk meminta maaf untuk yang kedua kali dan menjelaskan untuk yang kedua kali
pula.
Dengan kesal ia mendengus. “Bukannya aku sudah maaf atas
kelakuanku.”
“Meminta maaf itu mudah, semua orang bisa melakukannya. Tapi
aku butuh penjelasan darimu. Kenapa kau pergi tanpa pamit dariku ? Dan untuk
apa kau pergi, hmm ?” Reika berusaha sebisa mungkin masih bertanya dengan halus
namun serius.
Ibuki menggigit bibir bawahnya. “Aku tunggu jawabanmu
Iki-chan..” Reika menatap mata Ibuki dengan serius, sedangkan yang di tatap
sudah kehabisan kesabaran. Padahal seharusnya Reika yang sudah kesal sekarang
bukan malah Ibuki.
“Bukankah Ken sudah memamitkannya kepadamu, dan Ken juga
sudah menjelaskannya bukan ?! Aku pergi untuk membenahi diriku sendiri, untukmu
dan kenapa kau malah menyuruhku untuk pulang sekarang ?! moodku sekarang sudah hilang !” nada bicara Ibuki sedikit meninggi
namun ia masih bersikap acuh kepada pemuda yang ada di depannya, tanpa
memikirkan perasaannya.
Reika menghembuskan nafasnya pelan, ia tersenyum. “Hmmm ya
sudah kalau kau seperti itu, pergi saja dan kau tak usah repot-repot pulang.”
Tiba-tiba Reika menonjok tembok samping Ibuki dengan tangan kirinya. Ibuki
terperangah dengan tindakan Reika, ia tak pernah menduga pemuda yang selalu
terlihat sabar dalam bertindak itu melakukan hal tersebut.
“Bukankah dari awal kau yang sudah menyuruhku untuk pergi.”
Ucap Ibuki di tengah keterkejutannya.
Senyuman Reika tak luntur namun senyuman itu berbeda dari
biasanya, ada rasa sakit di dalamnya. Hal itu yang yang membuat Ibuki terdiam
dengan rasa bersalah yang semakin menumpuk, tapi ia tak pernah mau mengakuinya.
Entah datangnya dari mana rasa sesak yang kini tengah Ibuki rasakan.
“Sekarang terserah kau saja, aku memberikan kebebasan
kepadamu untuk pergi dan tak perlu lagi untuk kembali kepadaku. Menghilang saja
sesukamu.”
Ibuki
menunduk menahan genangan yang dengan sekali kedip akan menetes. Ia tak tahu
kenapa rasanya sesakit ini melihat senyuman Reika. Ini pertama kalinya Ibuki
melihat senyuman Reika yang seperti itu.
“Bayangkan saja bila kamu yang ada di posisiku. Pergi 3
hari, iya kalau pulang tapi kalau tidak ?!” Reika mengangkat dagu Ibuki menatap
manik yang sudah akan meneteskan bening asin.
“Kalau aku berkata pulang aku pasti pulang.” Ibuki berkata
lirih dan menampik tangan Reika, ia kembali menunduk menahan semua perasaannya
yang bercampur aduk.
Reika kembali menghembuskan nafas, ia tak tahu harus
bersikap bagaimana lagi untuk menghadapi pemuda manis di depannya. Apakah Ibuki
tak tahu bahwa semalaman ia tak bisa tidur karena memikirkannya. Berpuluh-puluh
kali mencoba menghubunginya namun tak membuahkan hasil karena keitainya di matikan. Mungkin ada 10
pesan suara yang ia kirim untuk Ibuki, tapi sepertinya Ibuki campakkan. E-mail ? sudah tak terhitung berapa
kali ia mengirim e-mail yang ia tahu
sampai sekarang pun tak terbaca oleh Ibuki. Jika saja Ibuki mengerti walau
sedikit saja kekhawatiran yang telah Reika rasakan. Reika sudah hampir di akhir
batas kesabarannya, namun sekali lagi ia mencoba untuk mengerti. Ibuki memang
seperti itu, dia bukanlah pemuda yang gampang menurut. Terbukti berkali-kali
Ibuki meronta bila Reika tiba-tiba memeluknya dengan erat di tengah kegiatan
asyiknya.
Dua bulan bukan waktu yang sebentar untuk merubah sikap dan
sifat Ibuki yang keras kepala dan semaunya sendiri itu. Tapi dengan penuh
pengertian layaknya seorang pasangan yang harus selalu mengarahkan pasangannya
ke yang lebih baik maka dengan kesadaran penuh Reika selalu melakukannya. Ibuki
bukannya tak mau menjadi seorang pasangan yang penurut, ia juga sudah
berkali-kali berjanji kepada dirinya sendiri bahwa ia akan berubah dan memberikan
perhatian yang lebih kepada Reika. Namun karena keras kepalanya serta rasa gengsi yang dominan maka sering kali ia
melanggar janjinya.
“Apa yang kau dapat dengan kepergiannmu itu huuh ? Apa kau
tak pernah memikirkanku ? Apa kau tak memikirkan aku yang mengkhawatirkanmu ?!
Apa yang ada di fikiranmu hanya keegoisanmu semata ?” ucapan Reika meninggi ia
sudah hampir kehabisan kesabarannya menghadapi Ibuki.
“Aku...aku hanya mendapat kau yang marah-marah tak jelas
kepadaku sekarang!”
“Oh tak jelas ya.” Reika tersenyum dengan keterpakasaan
sekali lagi. “Gomen kalau aku sudah
marah-marah tidak jelas kepadamu Iki-chan.”
Bisa Ibuki rasakan pipinya yang dingin itu dielus oleh
jemari hangat Reika. Jika saja Ibuki menyingkirkan sifat keras kepalanya itu
maka saat itu juga ia akan memeluk tubuh yang tegap itu. Yang Ibuki lakukan
malah sebaliknya, ia membuang muka dengan kasar. “Aku tahu kau telah lelah
dengan hubungan ini kan, kau lelah dengan aku yang seperti ini bukan ? Bilang
saja jangan malah seperti ini.”
Reika menghentikan aktifitasnya, ia terdiam. Apakah malah
ini yang Ibuki pikirkan, apa semua yang telah ia lakukan untuknya hanya berarti
seperti ini ?
“Baiklah kalau kau menginginkan ini, kita berdua memang
sudah lelah. Aku tahu semua yang aku lakukan hanya kau pandang dengan sebelah
mata, dan aku juga tahu kalau semua yang aku lakukan tak pernah berarti, hanya
seperti butiran debu yang hanya bisa mengganggumu. Dan artiku untukmu hanya
seperti sekelebat bayangan yang hanya bisa membuntuti sosokmu tanpa bisa meraih
hatimu. Semuanya memang harus kita sudahi, hubungan ini berat sebelah. Hanya aku
yang mencoba mempertahankannya sedangkan kau malah mencoba untuk meruntuhkan
pondasi yang telah aku buat. Kita memang berbeda Iki-chan, terima kasih sudah
menahan perasaan lelah selama ini.” Reika menepuk kepala Ibuki dengan lembut
meskipun sekarang hatinya hancur. Semua yang ia lakukan percuma, semuanya
sia-sia. Jadi ini yang pada akhirnya ia dapatkan. Inilah akhir dari
perjuangannya untuk Ibuki, ia yang berjuang sendiri mempertahankan hubungan ini
dan pada akhirnya ia juga yang harus menanggung sakit yang terdalam.
Bisa Reika lihat Ibuki menunduk, dan detik berikutnya Reika
membalikkan badan.
“Terima kasih untuk semuanya Rei, aku akan pulang ke
rumahku sekarang.” Ibuki sudah berjalan melewati pintu namun lagi-lagi Reika
yang dengan sigap itu menariknya, membuat kedua pasang mata mereka bertemu.
“Sudah malam dan sebentar lagi hujan akan turun. Bermalamlah disini, gunakan
kamar kita aku akan tidur di sofa depan tv.”
“Aku hanya tidak mau lebih merepotkanmu.” jawab Ibuki.
“Aku hanya mengkhawatirkanmu, itu saja.”
Ibuki sudah bersiap untuk melepaskan tangan Reika yang
dengat kuat menahan tangannya. “Sudah tak ada yang perlu di khawatirkan
sekarang.”
Reika, ia heran dengan jalan fikiran (mantan) pasangannya
itu. “Terserah apa katamu.” Ia tetap menarik paksa Ibuki untuk masuk ke dalam rumahnya.
“Kalau aku bilang tidak perlu ya tidak perlu, kenapa kau
masih memaksaku juga !” Reika berbalik dan menatap Ibuki. Ck, kenapa malah jadi
bertambah berat begini, batinnya.
“Teruskan saja sifatmu itu !” ia menatap tajam mata Ibuki.
“Apakah harus aku yang setiap hari terus mengalah dan selalu mengejarmu ?!
Apakah hanya aku yang terus-menerus berfikir bahwa suatu hari nanti kau akan
merasakan apa yang selama ini aku rasakan ?!”
“Hentikan ! kita sudah tak ada hubungan apa-apa bukan !?
jadi berhentilah memaksaku !” Ibuki tahu sebenarnya bukan itu yang ingin ia katakan,
tapi sepertinya hati dan bibirnya tidak pernah sejalan.
“Jujur, aku tak pernah bisa mengerti dengan jalan pikiranmu
itu. Aku biarkan kau tapi dianggap aku tak peduli terhadapmu, dan ketika aku
peduli tapi kau seperti ini. Sampai kapan kau mau mengerti diriku ?” Reika
mendesah pelan. Semua yang ia rasakan selama ini ia curahkan, tapi sepertinya
ini sudah terlambat. Selama 2 bulan mereka bersama ia belum tahu jalan pikiran
Ibuki, selama itu juga ia harus mengalah. Jadi mungkin ini adalah batasnya,
batasnya untuk selalu bersikap sabar di depannya. Reika melepaskan tangan
Ibuki, tapi entah kenapa ini semua malah membuatnya ragu akan keputusannya
untuk mengakhiri hubungan mereka berdua.
“Aku akan pulang.”ucap Ibuki singkat. Sebenarnya bukan
Reika saja yang merasa seperti itu,
Ibuki juga mengalami perasaan yang sama. Tapi sekali lagi sifat keras kepalanya
lebih dominan dari pada ia harus berkata ‘maaf’ dan ‘aku menyesal’.
Tanpa sepengetahuan Ibuki sebelumnya, Reika menarik
tubuhnya hingga jatuh ke dalam pelukannya. Dengan lembut pemuda bersurai coklat
tua itu mengelus kepala Ibuki. “Mungkin ini untuk yang terakhir kali.” ia
membisikkan kata-kata tepat di samping telinganya, “Aishiteru..”
Ibuki membeku, ‘yang terakhir’ jadi ini memang yang
terakhir kali. Kedua bola mata Ibuki memanas, tapi genangan di matanya itu
masih berusaha ia tahan agar tak jatuh di depan pemuda yang sangat ia cintai
itu. Ibuki tak ingin terlihat lemah di depan Reika.
Reika melepas pelukannya, ia menepuk kepala Ibuki. “Ya
sudah, pulanglah. Hati-hati.” Reika kemudian berbalik badan, meninggalkan Ibuki
yang masih terdiam.
‘Sudah tak ada
gunanya’ kemudian dengan berat Ibuki berjalan menuju sepeda motor besarnya,
menggunakan helm dan membenarkan letak tasnya.
Reika sudah menutup pintu rumahnya. Hatinya sakit,
perasaannya hancur. Jadi inikah yang namanya ‘patah hati’ ? Ia tak berani
menatap Ibuki yang kini sudah bersiap akan pulang ke rumahnya sendiri. Tak
berapa lama kemudian bisa ia dengar mesin sepeda motor menyala, dan semakin
lama suara itu menjauh, menandakan ia telah pergi dari sana.
Reika sedikit membuka korden jendelanya, hujan mulai turun
dan sepertinya akan semakin deras. Ia mengkhawatirkan Ibuki yang sendirian
menerobos hujan. Walau bagaimana pun juga sebenarnya ia tak pernah rela bila
harus berpisah. Hubungan ini terlalu singkat. Tidak seperti hubungan Reika
dengan Rui dulu. Padahal perasaannya kepada Ibuki jauh lebih kuat dibanding
dengan perasaanya kepada Rui. Tapi kenapa malah kepada Ibuki lah hubungannya
dengan cepat berakhir ?
Tatapan matanya kosong, ia sangat lelah sekarang. Semalaman
ia terjaga. Dengan langkah malas ia menuju kamar tidurnya. Biasanya dia akan
menemukan Ibuki yang tidur duluan jika Reika pulang larut dari kerjanya. Dengan
lembut ia akan mengelus wajah damai itu dan memberi ciuman selamat tidur di
keningnya, tapi itu dulu. Sekarang yang ia lihat hanya ranjang berukuran queen size dengan dua bantal dan satu
guling, tak ada sosok itu.
Reika membaringkan tubuhnya yang lelah di kasur itu,
pandangannya kosong menatap langit-langit kamarnya yang berwarna pastel.
Pikirannya tak bisa lepas dari pemuda yang memiliki bibir manis itu.
“Iki-chan...” ia bergumam. Kemudian kedua maniknya ia
alihkan ke jendela kaca di sebelahnya. Hujan turun dengan sangat deras, petir
sesekali terdengar. “Hhhh..” ia menghembuskan nafas dengan berat. ‘Aku harap dia tidak kenapa-napa.’ batinnya.
Ibuki mengendarai sepeda motornya dengan sangat cepat, tak
mempedulikan berkali-kali klakson mobil yang ditunjukkan sopirnya kepadanya.
Bisa dibilang malam itu Ibuki berkendara dengan sangat ugal-ugalan. Ia tak
mempedulikan hujan turun dengan sangat deras yang mengaburkan pandangan itu.
Rasa sakit yang ditimbulkan oleh percikan hujan pun tak ia indahkan, karena
rasa sakit yang baru saja ia alami jauh lebih sakit dari apapun. Entah ia
sadari atau tidak air mata itu jatuh begitu saja, deras sederas hujan malam
itu. Ia tak pernah membayangkan tindakannya itulah yang menyebabkan ini semua
berakhir dengan cepat.
Reika, pemuda bermanik hazel itu yang mampu
menghipnotisnya. Ia adalah pria pertama yang berhasil merebut hati Ibuki.
Meskipun Reika tak pernah memperlihatkan sikap perhatiannya di depan umum tapi
ia bisa merasakan bahwa perasaan Reika kepadanya sangat lah kuat. Meskipun
Ibuki menyadari bahwa sifatnya yang keras kepala itu telah banyak melukai hati
Reika.
Sikap dan sifat Reika lah yang membuat Ibuki
berangsur-angsur melunak, meskipun terkadang ia masih saja memberontak jika
tiba-tiba Reika memberikan perlakuan ‘manis’ kepadanya. Ia masih merasa malu
dan canggung, meskipun sebenarnya Ibuki juga menikmatinya.
Pemuda berambut sedikit bergelombang itu juga yang pertama
menyentuh Ibuki. Meskipun pada awalnya Ibuki tak pernah mau melakukannya,
mengingat mereka adalah sesama lelaki. Dalam hati ia masih sedikit menampik perasaannya
kepada Reika. Mana mungkin mereka yang sama-sama pria bisa hidup bersama
seperti sepasang pasangan ‘normal’ pada umumnya. Namun virus yang bernama cinta
itu mampu mengalahkan semuanya, bahkan gender
sekalipun. Perasaan itu perlahan muncul, tumbuh, dan berkembang.
Ibuki segera memutar arah sepeda motornya, kembali ke rumah
bercat pastel itu. Ia menyadari perasaannya tak bisa berhenti sampai disitu,
dan ia tahu bahwa yang akan menanggung sakit paling besar adalah Reika. Oleh
karena itu ia memutuskan untuk kembali dan meminta maaf. Tapi apakah ia akan
secara gamblang mengungkapkan perasaannya. Bahkan berkata ‘daisuki’ pun itu sangat berat untuknya. Tak mau tahu lagi, ia
semakin cepat menarik gas sepeda motornya itu meskipun kini ia sudah basah
kuyup dan menggigil kedinginan.
Reika masih belum memejamkan mata ketika sebuah ketukan
terdengar dari pintu rumahnya. Dengan malas ia bangun dari kasurnya menuju ke
depan. Sebelum memutar kunci ia mengintip dari balik jendela samping pintu. Ia
mendengus pelan.
Tatapan Reika tak seperti tadi ketika pertama kali melihat
Ibuki kembali dari perjalan antah berantahnya. Malas, itulah yang terbaca dari
kedua bola mata indah itu. Ibuki basah kuyup dan sedikit menggigil. Tanpa ba bi
bu Reika berjalan ke kamar mandi yang berdekatan dengan dapur itu. mengambil
handuk yang menggantung di jemuran sebelah pintunya. Ibuki tak berani memandang
Reika, sedari tadi ia hanya menunduk. Reika kembali dengan handuk di tangan,
segera ia meletakkan handuk itu di kepala Ibuki. Ibuki tak beraksi dengan
perlakuan Reika tadi meskipun ia menggigil.
Reika sudah malas menghadapinya, Ibuki yang
kekanak-kanakan. Maka dari itu ia membiarkan Ibuki berdiri disitu entah sampai
kapan. Ia sudah akan berbalik badan menuju dapur untuk membuatkan teh panas
untuknya ketika tangan Ibuki dengan erat menggenggam pergelangan tangan kanan
Reika, ia menoleh menatap sosok yang sangat ia cintai itu.
Plak !
Tanpa Reika sadari Ibuki telah berhasil menampar pipi kanan
Reika. Yang ditambar terdiam, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Punggung Ibuki bergetar, ia mengenggam tangan yang baru saja ia gunakan untuk
menampar itu. “Sampai kapan kau akan peka dengan perasaanku selama ini ?! Apa
kau sadar bahwa aku menjadi seperti ini semua gara-garamu ?! Perasaan ini
tumbuh karena semua perlakuanmu kepadaku, dan kini....kini kau tak mau
bertanggung jawab atas apa yang telah kau lakukan ?! Lalu kepada siapa aku
harus meluapkan perasaanku kalau bukan kepadamu huuh ?!”
Reika terdiam, memegangi pipinya yang sedikit memerah.
Nafas Ibuki tersengal, “Aku tak pernah ingin berpisah denganmu ! harus berapa
kali aku harus mengatakannya ?! Aku tak pernah ingin...” Ibuki akhirnya
menangis. Dia meruntuki kebodohannya sendiri, ia tak mengerti dengan dirinya
sendiri. Dan tamparan itu, ia tak pernah menampar siapa pun tapi dengan apa
yang baru saja terjadi, ia telah berani menampar Reika.
Reika menarik paksa tangan Ibuki dengan kasar menuju kamar
tidurnya. Ia tak menghiraukan sensasi panas pipinya. Ibuki yang masih masih
kuyup itu hanya bisa menurut dengan perlakuan kasar Reika.
Setelah sampai di kamar yang didominansi warna kuning pucat
itu, dengan cepat ia melepas genggaman tangannya pada pergelangan Ibuki,
meninggalkan warna sedikit merah. Ibuki tak mengerang atau pun apa, ia hanya
menurut. Baginya sudah cukup jelas bahwa ia tak pernah ingin berpisah dengan
Reika.
Reika menatap Ibuki yang terdiam itu “Jika kau memang tak
pernah ingin berpisah denganku maka tunjukkan dengan sifat dan sikapmu. Bukan
kau yang malah memberontak dan main hilang
begitu saja, dan pulang-pulang dengan menamparku seperti ini.” Reika
melunak berusaha membuat Ibuki lebih tenang. “Perlakuanmu itu yang membuatku
ragu apakah benar kau tak ingin berpisah dariku atau tidak. Sejujurnya aku
hampir saja menyerah memperjuangkan hubungan ini.”
Ibuki menggigit bibir bawahnya, merasakan setiap perkataan
yang Reika keluarkan. “Jika kau benar-benar mencintai orang itu, maka jagalah
baik-baik dia bukan malah kau perlakukan semaumu sendiri. Ingat, dia punya
hati.” Reika menunjuk ke dadanya sendiri.
“Aku sudah berusaha tapi dia tak pernah peka.” ucap Ibuki
lirih, diikuti pandangan Reika yang berusaha menerobos ke dalam hatinya.
“Apakah hanya sebesar itu usahamu untuk mempertahankan
sebuah hubungan agar berumur panjang ? Tak semua orang mengerti dengan apa yang
kita rasakan, oleh karenanya diperlukan tindakan. Kau memang mencintainya dan
tak ingin berpisah tapi jika kau hanya memendam perasaanmu dan memperlakukan
dia dengan kasar, tak akan ada yang kau dapat. Hanya sakit hati.” Reika
mengelus puncak kepala Ibuki.
“Selama kau menyanyangi orang itu maka tak akan ada yang
berakhir jika kau mau mencoba, namun jika kau tak mau mencoba itu bukan cinta.”
Reika tersenyum di akhir kalimatnya.
“Kalau aku tak menyayanginya kenapa aku kembali di
hadapannya sekarang ?”
Reika mengambil nafas dan menghembuskannya dengan pelan,
“Mungkin untuk menampar orang itu makanya dia kembali.” Ibuki tak bisa berkata
apa-apa lagi, ia menyadari ia yang salah namun ia masih tak bisa harus
mengakuinya secara terang-terangan.
“Sudah lah sekarang kau cepat mandi, akan aku siapkan air
hangat untukmu setelah itu istirahatlah.” Reika beranjak dari tempatnya menuju
ke dapur, namun baru saja ia akan melewati pintu Ibuki buru-buru mengambil
kunci motornya yang tergeletak di meja tak jauh darinya. “Jangan perlakukan aku
seperti anak kecil, aku akan pulang sekarang.”
Sudah habis kesabaran Reika, ia sudah tak tahan lagi.
Niatan baik darinya hanya mendapat respon yang seperti ini. Dengan sigap ia
menarik lengan Ibuki kemudian dengan kuat ia membanting tubuh yang tak siap itu
hingga membentur lemari samping tempat tidurnya. Belum sempat Ibuki mengeluh
sakit yang luar biasa di punggungnya Reika telah bersuara dengan sangat keras.
“AKU LELAH BICARA DENGANMU ! SIFAT DAN SIKAPMU TAK ADA YANG
BERUBAH ! TAK BISAKAH KAU MENGERTI PERASAANKU SELAMA INI ?! KAU KETERALUAN
IBUKI !!”
Deg!
Ibuki ? Reika tak pernah memanggilnya dengan nama itu,
karena sejak mereka menjalin hubungan itu Reika memanggilnya dengan ‘Iki-chan’.
Bila Reika sudah memanggilnya dengan nama itu berarti memang Reika sudah
kehilangan kendali dan ia sangat marah.
“Aku memintamu untuk berpikir bukan malah pergi ! berbeda
dengan perlakuan baikku untukmu yang selalu kau respon dengan ‘sudah’ dan bila
aku berhenti dan tak melakukan apa-apa kau hanya berkata ‘itu saja’ !” geramnya
menatap Ibuki, kemudian dengan kasarnya ia membanting beberapa perabot kaca
yang ada di atas meja tak jauh darinya, dan juga beberapa benda koleksinya juga
tak luput dari ‘aksi’ bantingannya. Bahkan bass pemberian Ibuki di hari ulang
tahun Reika itu pun menjadi sasaran. Mata Ibuki membulat sempurna menyaksikan
Reika yang kini sudah tak bisa dikendalikan. Bulir-bulir asin itu mengalir
dengan deras tak bisa ia tahan. Ia menangis bukan karena sakit di punggungnya,
tapi lebih dari itu, menyaksikan Reika yang sudah kehilangan kendali.
Selama beberapa saat ia membiarkan Reika melakukan apa saja
yang ia mau, membanting, menendang, bahkan meninju tembok. Ibuki hanya terisak
tertahan, menutupi kedua telinganya dari suara berisik yang Reika timbulkan
serta suara petir yang menggelegar di luar sana. Hanya memeluk kedua lututnya
lah yang bisa ia lakukan sekarang.
Nafas Reika memburu, wajahnya memerah menahan amarah. Ia
tak pernah semarah ini sebelumnya, ia tak pernah sesakit ini sebelumnya. Ibuki
benar-benar telah membuatnya hilang kendali, Reika lama kini muncul kembali.
Kedua mata tajamnya menatap sosok yang meringkuk lemah itu.
Ia tahu Ibuki tadi menangis meskipun pelan, meskipun sekarang sudah tak bisa ia
lihat air mata itu jatuh. Hanya bengkak di bawah mata yang kini tersisa.
Setelah di rasa ia sedikit tenang dihampirinya tubuh yang lebih kecil darinya
itu. Reika berjongkok menyetarakan tingginya dengan Ibuki, “sekarang terserah
padamu, mau melanjutkan hubungan ini atau tidak. Jika kau masih bisa menahan
rasa lelah ini aku bisa terima, tapi aku
sudah tak bisa memilih, aku angkat tangan.” ucapnya dingin yang disambut dengan
tatapan tak terbaca oleh Ibuki.
“Percuma saja bila kau sudah menyerah, hanya keterpaksaan
dan rasa sakit bila harus dipertahankan.” ujarnya pelan dengan senyuman yang
menunjukkan kesedihan.
Reika tak berpaling, ditatapnya terus mata coklat yang kini
telah memerah itu. “Aku tak pernah berniat membuat hubungan ini dengan sebuah
keterpaksaan, tapi jika kau memilih untuk tetap mempertahankannya namun sifatmu
itu tak kau rubah..maka tak ada pilihan lain.”
Ibuki kembali membeku dengan perkataan Reika. “Tak akan ada
hubungan yang akan bertahan lama dengan keterpaksaan.”
“Oleh karena itu, rubahlah sifatmu !” Reika membentak
kembali, Ibuki membuang muka. Digigitnya kembali bibir bawahnya. Reika menjadi
merasa bersalah lagi, tak seharusnya ia membentak Ibuki kembali.
“Nee..” Reika
meraih dagu Ibuki, membawa Ibuki berpaling menatap mata Reika. “Aku hanya ingin
kau berubah, untuk hubungan kita ini...”
Mata Ibuki memanas kembali, dengan halus ia menampik tangan
Reika, “Gomen Rei, aku sudah
mencobanya dan aku telah gagal. Aku hanya takut membuatmu lebih sakit dari ini.
Aku...aku tak pantas untukmu.”
Tes..
Setetes air mata jatuh kembali melewati pipi Ibuki yang
dingin. Dengan halus Reika meraih pipi itu dan mengelusnya dengan penuh kasih
sayang, seperti biasanya. “Kau tahu, tak ada yang tak pantas untuk seseorang,
semuanya pantas. Hanya bagaimana membuat diri kita pantas untuk orang itu
dengan sikap kita.”
Hangat, ucapan Reika memang selalu hangat, dan caranya memperhatikannya
itulah yang Ibuki rindukan. Ibuki tak yakin akan mendapatkan sosok layaknya
Reika atau tidak jika ia harus mengakhiri sampai disini. Perasaannya tak boleh
berhenti hanya sampai disini, ia ingin perasaan itu semakin jauh dan semakin
dalam. Tapi...apakah ia sanggup ?
“Aku...aku sudah
gagal Rei.” Ibuki tersenyum kecut.
Reika menghentikan aktifitasnya, namun tangan yang hangat
itu masih memegang pipi Ibuki. “Apa yang kau coba hmm ? menunggumu yang
hujan-hujanan seperti tadi, baru kau mau jujur ? menunggu dikejar ?”
“Yamette Rei..”
Ibuki mengalihkan wajahnya lagi. “Aku..aku sudah gagal menjadi orang yang baik
untuk seseorang yang aku sayangi, aku gagal.”
Reika membawa pandangannya ke sembarang arah, “Coba sekali
lagi, sebelum orang itu benar-benar tak peduli denganmu.” Ibuki membulatkan
kedua matanya tanpa bisa Reika lihat.
Apakah ini tanda bahwa Reika memberinya kesempatan kedua ?
memperbaiki semuanya sebelum terlambat ? Namun bisakah ia benar-benar berubah ?
‘Selama kau
menyanyangi orang itu maka tak akan ada yang berakhir jika kau mau mencoba,
namun jika kau tak mau mencoba itu bukan cinta’ kata-kata Reika beberapa
saat yang lalu itu seketika saja memenuhi pikiran Ibuki. Benar, perkataan Reika
tadi benar, selama ia mencoba pasti hubungan itu tak akan berakhir.
“Rei..” Ibuki memegang kedua tangan Reika, membuat Reika
yang tadi tidak fokus itu kembali ke realita dan menatap manik coklat Ibuki.
“Tolong, bimbing aku agar perasaanku padamu ini semakin
kuat dan dalam. Tolong ajari aku bagaimana membuat perasaanku tersampaikan
dengan perbuatan. Tolong ajari aku untuk membuat bunga yang telah mekar di
dalam hatiku ini menjadi banyak. Tolong ajari aku untuk bisa mencintaimu dengan mata, telinga,
hidung, tangan, fikiran, dan perasaanku. Tolong aku....Rei.” Ibuki berkata
lirih namun bisa Reika rasakan ada kesungguhan di setiap perkataannya.
Belum sempat Reika menjawab, Ibuki memeluknya. “Da..daisuki Reika.”
Reika terkaget, memang ini bukanlah pertama kali Ibuki
mengucapkannya, tapi ada yang lain. Sesuatu yang terasa hangat dan nyaman
ketika ia mendengarnya. Ia tersenyum, membelai rambut yang setengah basah itu
dengan halus.
“Suki da
Iki-chan.” Ucapan itulah yang membuat Ibuki mengeluarkan air mata kembali, tapi
ini air mata bahagia. Dia berjanji akan merubah semua sifat dan sikapnya kepada
Reika.
Reika yang bisa mendengar Ibuki menangis itu semakin mempererat
pelukannya. “Yosh yosh...sudahlah untuk apa kau menangis, baka.” Reika mengejek Ibuki yang membuat Ibuki segera melepaskan
pelukannya.
“Yang kau panggil baka
ini menangis karenamu, bodoh.” Ibuki sedikit memajukan bibirnya. Reika yang
melihatnya hanya terkikik pelan.
“Apa yang lucu..” Ibuki mencubit pipi Reika. Membuat Reika
menghentikan cekikikannya. “Warui
warui...”
Kemudian tangan Ibuki yang masih mencubit pipinya itu ia
genggam. Manik Reika menatap manik Ibuki, membuatnya sedikit merona. “Mungkin
ini terdengar klise untuk sebagian orang dan bahkan untukmu. Tapi...aku bahagia
bisa bersamamu lagi dan yang terpenting kau mau berubah.” Reika mengakhiri
ucapannya dengan senyum khasnya. Hal ini yang membuat Ibuki semakin merona dan
membuang wajahnya.
“Hei..jangan kau buang wajah manismu itu ketika kau sedang
malu.” Goda Reika yang kontan membuat Ibuki memandang wajah puas Reika.
“Mo...kau memang
menyebalkan !” Ibuki bersiap berdiri, namun Reika yang masih memegang tangan
Ibuki itu menariknya hingga membuat Ibuki jatuh tepat di atas pangkuan Reika.
“Padahal aku belum memberikan hukuman padamu. Kau mau main
pergi lagi.” Reika memeluk Ibuki dari belakang. Ibuki yang antara kaget dan
malu hanya bisa mendengus. “Lepaskan Rei, aku mau mandi. Aku basah kuyup. Dan
hukuman apa, aku sudah mendapat hukuman darimu.”
Reika menaikkan sebelah alisnya, “Aku belum memberikan
apa-apa kepadamu baka.”
Ibuki menghembuskan nafas, percuma ia mencoba melepaskan
pelukan Reika. “Memangnya dengan kau membantingku tadi tidak menyebabkan sakit
di punggungku huuh ? itu hukuman yang secara sadar atau tidak yang sudah kau
berikan untukku.”
Segera setelah Ibuki berkata, tanpa Ibuki sadari Reika sedikit
mengangkat baju bagian belakang Ibuki. Ada bekas memar disana, membuat Reika
merasa bersalah. “Gomen Iki-chan. Aku
tak bermaksud melakukan itu terhadapmu, tapi aku akan mengobatinya.”
Belum sempat Ibuki berkata, bisa Ibuki rasakan ada sesuatu
yang hangat menyentuh punggung itu.
Reika mencium punggung yang memar Ibuki, yang sontak
membuatnya bergidik antara kaget, malu, dan menikmatinya.
“Chotto..apa yang
kau lakukan ??” Ibuki dengan sekuat tenaga berhasil berbalik badan, menatap
Reika.
“Apakah kurang ? tapi memang bukan sampai disitu saja aku
akan mengobatinya kok, jadi kau jangan cemas. Nee Iki-chan..”
Senyum itu lagi, senyum yang Ibuki benci dan takuti. Itu
bukan senyuman yang selalu membuat Ibuki merona, tapi lebih ke seringai. Bila
Reika sudah seperti itu, ia akan bertindak ‘lebih’ kepadanya.
Ibuki sedikit memundurkan badannya, tapi ternyata Reika
sudah menduganya. Dengan kuat kedua lengan Reika mengikat badan Ibuki, sehingga
Ibuki tak bisa bergerak macam-macam. Tapi bukankah Reika yang sekarang
macam-macam. Ibuki hanya bisa menelan ludahnya, inilah dia the real Reika.
Reika mendekatkan wajahnya kepada Ibuki, dan membisikkan
sesuatu tepat di telinga Ibuki ” “Diamlah, aku akan ‘mengobatimu’..”
----OWARI----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar