LYCORIS
Title : Lycoris
Fandom : AND –Eccentric
Agent- , D=OUT
Cast : Ken (AND),
Ikuma (AND), Ibuki (D=OUT)
Genre : Angst, Family
Rate : T
Author : Lycoris
Disclaimer : Only this fic is
mine, not the characters.
Warning : Fanfic abal
kesekian yang saya tulis, typo(s), kayaknya tidak dapet feelnya *pundung*
ONE SHOT FANFICTION
Douzo~~
Dalam keheningan
langit senja dan bunga lycoris merah yang diam di sampingnya.
-Lycoris-
“Jadi ? “ ia akhirnya bersuara.
“....”
Hening kembali. Dan pemuda itu
pun berdiri kemudian memunggunginya.
“Berakhir.” satu kata yang
sederhana namun memiliki arti yang sangat menyakitkan.
“.....”
Sunyi kembali, hanya hembusan
angin sore yang membuat dedaunan menari bersamanya. Langit senja telah berubah
menjadi orange, bayangan pemuda tinggi itu mengarah ke barat. Ia masih tak
ingin menoleh kepada pemuda lain yang kini tertunduk sambil menahan segala
emosi. Ia rela bila harus dipukul tepat di wajahnya. Tapi rasa sakit yang akan
ia derita lebih berat dari dia dan mereka.
“Maafkan aku, aku tahu ini adalah
keputusan egois, tapi aku tak punya pilihan lain. Maafkan aku” pemuda yang
berdiri itu menggenggam erat jemarinya, ia tak pernah tega untuk mengatakan
kata itu. Tapi tak ada pilihan lain, ia harus mengatakannya meskipun itu
menyakitkan dirinya sendiri, menyakitkan lawan bicaranya sekarang serta semua
orang yang telah mengenal dan mendukungnya selama ini.
Ia menunduk, rasa sakit atas
perkatannya itu sangat dalam. Mimpinya harus ia sudahi sekarang.
“.....” pemuda yang lain itu
masih saja menutup erat mulutnya. Semuanya terjadi begitu cepat dan tak
terduga.
“Aku akan keluar Ikuma, aku sudah
menyerah. Tak ada yang bisa aku lakukan sekarang. Saatnya aku berfokus pada
kakakku yang sekarang semakin melemah dan tak berdaya. Kau tahu itu kan?”
Pemuda tinggi itu mengusap air mata yang baru saja keluar dari kedua mata
abu-abunya.
Ikuma, pemuda yang menjadi lawan
bicaranya hanya bisa terdiam. Ia tak tahu harus berkata apa lagi untuk
merespon.
“Maafkan aku, maafkan aku. Tolong
sampaikan ucapan maafku pada semuanya. Aku tak tega jika harus mengucapkannya
langsung pada Kaji, Peco, Kili dan semuanya. Aku mohon.” Ia masih tak menoleh, setetes
demi setes air mata kini turun perlahan.
“Ken.....” panggil Ikuma lemah.
Ken, nama pemuda itu, ia kini
terisak pelan, sangat cengeng jika dikatakan ia adalah seorang lelaki yang kini
sudah berumur 23 tahun. Tapi inilah dia, tak ada manusia yang tak pernah
menangis bukan, meskipun ia adalah seorang lelaki.
Ikuma pun berdiri dari duduknya, memegang
bahu Ken dari belakang. “Jaga kakakmu, kau memang harus ada untuk dia sekarang.
Sekarang dia yang lebih membutuhkanmu.” Ken sontak menoleh ke belakang,
didapatinya Ikuma yang telah mengeluarkan air mata namun sebuah senyuman hangat
mengembang di wajahnya.
“Aku yakin teman-teman 1 band
kita akan mengerti dan para fans...aku rasa meskipun berat mereka akan mengerti
juga. Jadi....” Ikuma masih tersenyum. “Titip salam untuk kakakmu, dan aku
harap kau akan baik-baik saja.”
Ken memaksakan senyumnya, ini
adalah perpisahan kesekian kali yang
harus ia alami.
Dulu ketika ia masih berumur 3
tahun, ia harus menghadapi kenyataan bahwa ibu yang telah melahirkannya harus
pergi untuk selamanya. Kemudian ketika ia memiliki kebahagiaan lain, tak
beberapa setelahnya harus terambil juga. Kala ia berumur 12 tahun ia harus bisa
hidup mandiri bersama sang kakak yang saat itu berumur 18 tahun. Kedua orang
tua mereka –orang tua angkat Ken- meninggalkan mereka berdua sendirian.
Kakaknya, meskipun bukan kakak kandungnya tapi ia begitu menyayangi Ken yang
sejak kecil telah hidup bersama dengannya dan kedua orang tuanya. Hingga karena
kejadian itu kakaknya harus berhenti sekolah dan memendam dalam-dalam
keinginannya untuk kuliah.
Ken yang sejak usia belia memang
telah jatuh cinta kepada musik memutuskan untuk menjadi musisi, meskipun dengan
berat ia mengatakan keinginannya kepada kakaknya karena takut kakaknya yang
merupakan satu-satunya keluarga yang ia punya itu akan marah besar dan tak
mengijinkannya, namun tanpa diduga sang kakak mengijinkan Ken, bahkan berpesan
untuk bersungguh-sungguh agar bandnya menjadi besar. Pesan dari kakaknya itulah
yang selama 5 tahun ini ia pegang, dan ia berhasil mewujudkannya. Menjadikan
AND –Eccentric Agent- begitu nama bandnya, besar dan dikenal. Namun tanpa Ken
sadari sang kakak yang bekerja sebagai karyawan di salah satu restoran cepat
saji menderita sebuah penyakit yang telah menginjak stadium akhir.
Tepatnya 2 bulan yang lalu ia
mengetahuinya, sang kakak yang tak ingin membuat Ken khawatir sengaja tak
pernah memberitahunya. Sebuah pukulan yang sangat besar dalam hidup Ken yang selama
ini telah berusaha ia tata kembali.
Hingga Ken mengetahuinya sendiri
dan dengan itu ia memutuskan untuk keluar dari band yang telah membesarkan
namanya itu.
“Terima kasih Ikuma, sampaikan
salamku kepada semuanya.” Ken pun berjalan menjauh dari Ikuma.
“Tunggu Ken! “cegah Ikuma. Ken
pun berhenti dan berbalik, Ikuma segera menghampirinya.
“Ini.” Ikuma menyodorkan sesuatu.
Sebuah foto. Foto mereka berlima ketika mereka sedang befoto di sebuah photo
box.
“Aku rasa kau akan membutuhkan
ini, dan karena kau adalah bagian dari keluarga yang bernama AND.” Ikuma bisa
melihat air mata Ken jatuh kembali.
“Sayonara Ken...” ia memegang
puncak kepala Ken dan mengacak-ngacak rambutnya.
Sore itu, Ken resmi keluar dari
bandnya. Hembusan angin serta langit yang telah menguning menjadi saksi betapa
sakit dan berat hatinya untuk meninggalkan teman-temannya serta mimpi
terbesarnya.
-----------------------
“Tadaima...” suara berat Ken
memecah keheningan rumah yang tak terlalu besar itu.
“Okaeri..” terdengar dari dalam
dapur sebuah suara yang bisa dibilang semakin melemah menyambutnya.
Ken pun segera bergegas menuju
dapur dan mendapati kakaknya yang kini tengah duduk di depan meja makan yang di
depannya telah terhidang makanan sederhana.
“Nii-san, sudah kubilang kau
jangan melakukan hal-hal yang berat.” Raut wajah Ken sangat khawatir, ia
menghampiri kakaknya yang terlihat semakin tak berdaya.
Sang kakak hanya tersenyum
simpul.
“Ini tidaklah berat Ken, bukannya
aku yang selalu menyiapkan makan malam untukmu jika kau ada di rumah.”
Ken kemudian terdiam, seketika ia
teringat kejadian yang ia alami tadi sore, namun sepertinya ia tak tahu harus
berkata dari mana. Dirasa sangat berat jika ia harus mengatakan bahwa ia telah
keluar dari AND ditengah kondisi kakaknya yang semakin memburuk.
Sang kakak hanya memandang Ken
dengan tatapan sayu namun penuh perhatian.
“Ada apa Ken ? apa ada sesuatu
yang ingin kau katakan padaku ?” sang kakak yang berbeda umur 6 tahun dari Ken
tentu saja bisa membaca isi kepala dari adiknya itu.
Ken semakin menunduk, ia memang
selalu gagal bila menyembunyikan sesuatu, tak pernah bisa. Sang kakak
seakan-akan tahu semua isi hati dan isi kepalanya.
Kursi yang tepat berada di
samping tempat duduk kakaknya ia ajukan, pemuda yang lebih tinggi dari kakaknya
itu pun duduk tepat di samping kakaknya. Masih terdiam, kakaknya menunggu sang
adik untuk mengatakan sesuatu dari bibirnya.
10 detik, 20 detik, 30 detik,
hingga-----3 menit kediaman masih menyelimuti mereka berdua yang harus hidup
tanpa orang tua itu.
Ken merapatkan kedua tangannya di
atas meja. Pertarungan di hatinya sedang terjadi, apakah ia akan mengatakan
bahwa ia telah keluar dari AND atau tidak, apakah ini malah akan memperburuk
kondisi kakaknya atau tidak.
“Hhhh..” terdengar kakaknya
menghembuskan nafas pelan. Seketika Ken menoleh dengan berat.
Kini kedua mata abu-abu Ken
bertemu dengan mata hazel milik kakaknya. Tatapan penuh kesakitan, ia tahu sang
kakak telah menyimpan penyakitnya selama hampir 2 tahun ini dan rasa sakit yang
telah ia simpan sendiri selama itu. Tatapan penuh kesepian, karena Ken yang
jarang berada di rumah lantaran disibukkan oleh tour keliling Jepang bersama
bandnya, dulu, dan meninggalkan kakaknya sendirian. Tatapan penuh kasih sayang
yang ditunjukkan kakaknya hanya untuk dirinya, satu-satunya keluarga yang ia
miliki sekarang. Serta tatapan penuh pengertian, yang sejak dulu, sejak ia
masih kecil ketika sang kakak harus berkali-kali mengalah untuk sang adik hanya
untuk sebuah mainan dan sebuah kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Begitu banyak arti dalam tatapan
mata sang kakak, dan itu malah membuat Ken semakin merasa bersalah dan bingung.
Pergulatan di hatinya semakin hebat, layaknya sebuah pertarungan yang semakin
lama semakin kuat, tak ada yang mau mengalah.
“Kalau kau tidak cepat
mengatakannya, maka makan malam kita akan tertunda Ken, kau akan sakit nanti.”
Selalu. Kakaknya selalu
mengkhawatirkan dirinya melebihi dirinya sendiri, dan Ken benci hal itu.
padahal ia tahu bahwa kondisi kakaknya yang harus lebih ia prioritaskan
sendiri, namun tetap saja ia selalu memprioritaskan kondisi Ken.
“Ibuki Nii-san, bukan aku yang
harus kau khawatirkan saat ini, tapi dirimu sendiri.” Ken menatap lekat sang
kakak yang bernama Ibuki itu.
Namun itulah Ibuki, ia tak pernah
‘melihat’ kondisinya sendiri, yang paling utama adiknya, tentu saja.
Ibuki tersenyum simpul, senyum
yang sebenarnya Ken benci. Karena dibalik senyum simpul itu tersimpan
berton-ton beban yang harus ia angkat sendiri.
“Sudahlah, aku tidak apa-apa. kau
jangan seperti orang tua yang cerewet kepada anak kecil.” Ck, entah harus
bagaimana lagi Ken harus berbuat agar sang kakak yang sebenarnya egois akan
kesehatannya sendiri itu mengerti bahwa Ken sangat mengkhawatirkannya.
Ken mendengus, kini raut wajahnya
seperti anak kecil yang tak didengarkan ucapannya. Bila hal itu sudah terjadi,
Ibuki hanya mencubit pipi kanan Ken, dan Ken akan semakin kesal. Namun dibalik
itu Ken bisa melihat kakaknya tersenyum lepas, senyum yang tak pernah berubah
sejak ia pertama kali bertatap muka dengannya.
Flashback
“Ibuki, ini adalah adikmu. Sekarang
kau memiliki teman bermain di rumah.” Ibuki menatap anak lelaki yang berumur 3
tahun yang berperawakan kecil itu dari balik kaki ayahnya. Ibuki kecil yang
saat itu berumur 9 tahun hanya menatap Ken kecil dengan tatapan bingung. Namun
kemudian ketika sang ayah mengatakan bahwa Ibuki tak akan pernah merasa
sendirian lagi, seketika sebuah senyuman yang mampu membuat hangat semua orang
yang melihatnya tergambar di wajah manisnya.
“Hai...” Ibuki tersenyum riang.
Ken kecil yang bersembunyi dibalik kaki sang ayah mulai berani menampakkan
badannya.
Wajahnya manis, dengan iris mata
abu-abu dan rambut hitam yang terlihat acak-acakan karena perjalanan panjang.
Ken kecil menatap Ibuki dengan perasaan malu, bingung dan takut menjadi satu.
Namun ketika Ibuki tersenyum dan
menyodorkan tangannya untuk bersalaman seketika perasaan itu hilang “Perkenalkan,
namaku Matsuhita Ibuki, kau bisa memanggilku dengan Ibuki Nii-san mengingat kau
sekarang menjadi adikku, dan aku telah menjadi kakakmu, atau cukup dengan
Nii-san juga, tidak masalah. Yoroshiku.” Ucapan renyah Ibuki serta senyum yang
tak pernah hilang dari wajahnya membuat Ken kecil menyodorkan tangannya juga.
“Aku....aku Kenichi.....“ ia tak
melanjutkan.
Ibuki memiringkan kepalanya,
seketika ia menceletuk. “Matsuhita Kenichi, tentu saja, karena kau sekarang
adalah keluarga kami. Iya kan Ayah.” Ibuki menoleh ke ayahnya. Ayahnya kontan kaget
dengan reaksi langsung Ibuki yang begitu senang menyambut anggota baru
keluarganya.
Sang ayah tersenyum bangga
sekaligus terharu, ia hanya mengangguk.
Kemudian dengan cepat Ibuki
menggeret tangan Ken kecil yang masih sangat polos untuk mengetahui tentang apa
yang sebenarnya terjadi, mengapa ia harus tinggal dengan keluarga kecil itu.
“Karena menurutku Kenichi terlalu
kepanjangan, maka kau akan aku panggil dengan Ken saja, bagaimana ?” Ibuki
berkata dengan tetap mengajak Ken masuk kedalam rumahnya.
Ken kecil kaget, karena selama
ini ia selalu dipanggil dengan Kenichi. Namun dalam hati bocah itu sangat
bahagia, karena ia merasa bahwa ia telah menemukan seorang kakak yang sangat
sayang kepadanya.
“Emm..” ia mengangguk dengan
pasti, membuat Ibuki semakin senang.
Kemudian sampailah mereka di
lantai 2, tepat di depan kamar Ibuki. Tangan kecil Ken telah Ibuki lepaskan. Ibuki
berjongkok tepat di depan Ken yang tingginya tak lebih dari seperutnya.
“Nah Ken, kau harus memilih. Kau
mau tidur denganku di kamar tidurku ini, apa kau mau tidur sendiri di sebelah
kamarku ?”
Ken kecil menatap mata Ibuki.
“Aku mau tidul belsama
Ibuki.....” ia terlihat masih berat untuk mengatakan kata ‘Nii-san’. Ibuki
menunggu Ken untuk mengucapkan kata-kata yang memang ia ingin dengar.
“Iyaa ?”
“Nii-san.” Ucap Ken lirih hampir
tak terdengar, namun masih mampu Ibuki tangkap. Seketika senyuman Ibuki semakin
mengembang.
Dalam hati akhirnya ia
mendapatkan adik yang akan selalu menemaninya. Ia tak akan pernah kesepian lagi
sekarang bila harus ditinggalkan oleh ayah dan ibunya bekerja hingga
berhari-hari di luar kota.
Ibuki kecil tak pernah menanyakan
asal-usul Ken sebab yang terpenting ia sekarang adalah adiknya. Sedangkan Ken
sendiri merasa sangat bahagia karena akhirnya ia menemukan keluarga yang utuh
dan sangat sayang padanya. Memori kelam masa lalu itu seakan mengilang perlahan
sejak ia masuk menjadi salah satu anggota keluarga Matsuhita.
Setiap hari Ibuki yang dulunya
selalu menyembunyikan kesepian di hatinya dengan sebuah senyum yang selalu ia
paksakan, mulai saat itu berubah menjadi senyuman lepas, berkat Ken.
Semua kebahagiaan Ibuki memang
bersumber dari Ken, apapun yang Ibuki lakukan hanyalah untuk kebahagiaan Ken.
Bagi Ken sendiri ia juga telah berjanji bahwa ia akan terus menjaga senyuman
sang kakak.
Namun tak selamanya hidup ini
akan bahagia. Begitulah yang Ken dan Ibuki alami. Ken yang saat itu masih
berusia 12 tahun dan Ibuki yang berusia 18 tahun dan akan mengikuti tes masuk
Universitas pilihannya, harus dihadapkan oleh kenyataan yang pahit.
Kedua orang tua mereka tewas
karena kecelakaan pesawat, dan tentu saja sekali lagi Ken harus kehilangan
orang tuanya. Bagi Ibuki itu adalah mimpi terburuk dalam kisah nyatanya.
Mimpi-mimpi Ibuki yang ingin kuliah itu pun harus ia pendam dalam-dalam. Ia
harus bekerja, melanjutkan hidupnya dan hidup Ken.
Tak pernah sekalipun Ibuki
menampakkan raut kesedihan untuk Ken, karena ia telah berjanji akan membuat Ken
selalu bahagia dan berusaha agar Ken
terus melanjutkan pendidikannya. Bagian inilah yang Ken benci dari kakaknya.
Kakaknya selalu berusaha untuk terlihat kuat didepannya, padahal ia tahu
kakaknya telah menanggung beban yang sangat berat.
Sebisa mungkin ia terus menepati
janjinya yang terdahulu, menjaga senyuman hangat kakaknya. Karena bagi Ken
itulah harta kakaknya yang paling berharga.
Namun, suatu hari Ken yang memang
sangat mencintai dunia musik ingin mengutarakan kepada Ibuki bahwa ia tak ingin
kuliah, ia hanya ingin menjadi musisi dan menekuninya. Saat itu umurnya 16
tahun ketika ia ingin bergabung dengan band untuk yang pertama kali. Ken tak
tahu apa reaksi yang akan Ibuki tunjukkan ketika ia mengatakan keinginannya
itu.
Tanpa Ken duga, Ibuki yang sangat
mengerti Ken sejak kecil serta bakat yang Ken miliki dalam bidang musik mengijinkannya.
“Untuk apa aku mencegahmu Ken
Chan.” Ujar Ibuki saat itu yang sontak membuat Ken kaget sekaligus senang.
“Aku bukan ayahmu, aku adalah
kakakmu. Sudah seharusnya kakak mendukung adiknya, tapi dalam hal yang positif
tentunya. Dan aku menemukan sisi positif dari keinginanmu ini.” Ken tak pernah
melupakan perkataannya kakaknya saat itu dengan sebuah senyum ketulusan yang
terlukis indah di wajah kakaknya.
“Ibuki Nii-san.....arigatou!” Ken
seketika memeluk Ibuki dengan erat, dan Ibuki hanya menepuk-nepuk kepala Ken
dengan lembut.
“Aku tahu apa yang kau inginkan
sejak dulu. Bukan karena aku tak bisa kuliah, aku mengharuskanmu untuk kuliah,
itu bukan mimpimu.” Ken melepaskan pelukannya dan memandang Ibuki.
“Jadi....aku harap kau bisa
membawa bandmu terkenal dan semua orang mengenalmu, mengenal Ken Chan.” Yaa,
saat itu, saat dimana Ken telah berjanji kepada dirinya sendiri untuk membawa
namanya dan nama bandnya terkenal.
Saat itu pula, ia selalu memakai
nama Ken Chan, nama panggilan sang kakak untuknya.
Bukan jalan yang mudah menjadikan
band yang Ken naungi untuk terkenal, ia 3 kali berpindah band. AND adalah band
yang ia bentuk bersama Ikuma, Kili, Peco, dan Kaji. Dengan band itu pula lah ia
dikenal. Ia telah menepati harapan kakaknya.
Tak semua harapan sejalan dengan
keinginan manusia, ada kalanya kita harus menyerah, namun bukan berarti kita
kalah. Menyerah karena ada hal lain yang lebih penting dari sekedar mimpi
pribadi.
“Kakakmu menderita leukimia tahap
akhir Ken.” Perkataan berat seorang lelaki setengah baya yang disebut dokter
itu kontan saja membuat Ken hampir kehilangan nafasnya.
Cobaan apa lagi yang Kami-sama
berikan untuknya ? bukan, bukan untuk dirinya melainkan untuk kakaknya. Iya,
kakaknya. Sang kakak yang harus mengalami kesepian sejak kecil sebelum ia
bertemu dengan Ken, kemudian ia harus menghadapi bahwa kedua orang tua yang
telah melahirkan dan membesarkan dirinya harus pergi sebelum ia bisa
melanjutkan mimpinya untuk kuliah. Dan sekarang, ia harus menghadapi bahwa ia
terkena penyakit yang bernama Leukimia itu.
Bukan berarti Ibuki baru tahu, ia
sudah mengetahuinya sejak hampir 2 tahun yang lalu. Namun....sekali lagi ia
menyembunyikan tentang hal itu dari Ken. Ia tak ingin membuat Ken menghentikan
mimpinya menjadi seorang musisi hanya karena penyakit yang ia derita.
Ken yang saat itu berada di rumah
sakit bersama sang kakak yang telah tergolek di atas tempat tidur hanya bisa
menangis dalam diam.
Pukulan telak untuknya, ia hanya
meninju tembok sampingnya.
“Sial !!” ia meruntuki dirinya
sendiri.
“Apa lagi yang kau coba kau
tutupi dariku Nii-san !?” ia masih menangis walau pelan. Ia selalu benci hal
seperti ini, kakaknya telah menutupi kondisinya selama ini.
Ken tak henti-hentinya menyalahkan
dirinya sendiri. Jika saja ia tak harus menjadi musisi maka ia akan bisa
menjaga sang kakak hingga hal ini mungkin tak akan terjadi.
“Kuso !!!” sekali lagi ia meninju
tembok di lorong tempat kakaknya di rawat. Ia benar-benar tak tahu harus
bagaimana lagi. Otaknya seakan tak mau bekerja, ia hanya bisa meremas
rambutnya.
Malam itu, ia hanya berteman
dalam kebingungan .
'Kau harus berpikir Ken, sudah cukup kakakmu mengalami berbagai macam
hal-hal buruk. Kau harus berkorban, bukannya kau telah berjanji pada dirimu sendiri
untuk selalu menjaganya dan membahagiakannya ? sekarang mungkin menjadi
kesempatan terakhir yang kau miliki untuk bisa membalas semua yang telah
kakakmu berikan kepadamu.'
Ken berdiri, segera ia
menghampiri kakaknya yang kini sedang tertidur di dalam kamar yang serba putih
itu. Langkah kakinya kini terasa semakin berat seakan ada sebuah batu yang
sangat besar yang sedang ia panggul.
“Nii-san..” gumamnya lirih begitu
ia telah sampai di samping kakaknya.
Ditatapnya wajah yang kini
memucat itu. Damai, begitulah reaksi Ken melihat kakaknya tertidur sekarang.
Jadi, seperti ini wajah kakaknya ketika tidur. Hampir 5 tahun ini, Ken tidak
pernah melihat kakaknya tertidur. Karena ketika ia pulang, yang ia tahu
kakaknya selalu menyambutnya meskipun itu sudah sangat larut bahkan bisa
dikatakan pagi. Begitu tahu Ken telah tidur, barulah sang kakak menyusul ke
dalam alam mimpi, dan ketika Ken membuka mata dari istirahatnya ia sudah
melihat sarapan terhidang di meja makan dan tekah menemukan kakaknya telah
bersiap-siap untuk bekerja.
Mengingat hal-hal itu hanya
membuat Ken semakin bersalah kepada kakaknya. Kedua matanya telah mengatup
rapat, dan terlihat bulir bening telah mengambang begitu ia membuka mata.
Tess.....ini adalah air mata
kesekian yang Ken keluarkan malam ini. Punggung Ken gemetar, ia menggengam erat
tangannya sendiri.
“Kini aku yang akan menjaga
satu-satunya keluargaku. Aku berjanji padamu Nii-san.” Kedua tangan Ken kini
menggenggam tangan kanan Ibuki dengan lembut.
End of flashback
Ibuki masih menatap intens mata
Ken, ia tahu bahkan sangat tahu bahwa ada sesuatu yang tersimpan di balik mata
ragu Ken.
Ken yang tak tahan akhirnya bersuara.
“Ano....”
“Emmm, iyaa ??” Ibuki menunggu
adiknya bercerita.
“Kau harus mengatakannya Ken, harus ! apapun yang terjadi kau harus
tetap mengatkannya !”
“Ibuki Nii-san, aku-----aku telah
memutuskan untuk keluar dari AND.” Hampir tak terdengar bagian dari perkataan
Ken tersebut, dan jelas saja Ibuki sangat kaget. Namun bukan Ibuki namanya jika
ia tak bisa bersikap tenang.
Ibuki menghembusakan nafas pelan,
Ken tertuduk, tak berani menatap kedua manik hazel kakaknya.
'Aku tahu pasti Ibuki Nii-san kecewa terhadapku, Ken bodoh apa yang
baru saja kau lakukan !'
Pergulatan hati Ken kembali
terjadi, di satu sisi tadi ia harus mengatakan apa yang seharusnya terjadi dan
di satu sisi ketika ia sudah mengatakannya kepada Ibuki, ia meruntuki dirinya
sendiri.
Ketika Ken masih saja menunduk
lesu, dan disangkanya tangan lembut kakaknya mengelus-ngelus puncak kepala Ken.
Ken yang setengah kaget itu kemudian mengangkat wajahnya dan seketika itu juga
manik coklat dan abu-abu bertemu. Tapi tak pernah ia sangka, sang kakak yang
tak pernah ia lihat menangis –terakhir Ken melihat Ibuki menangis ketika ia
mendengar kabar bahwa kedua orang tuanya meninggal hampir 12 tahun yang lalu- itu
meneteskan air mata, namun masih dengan senyum hangatnya, bukan, itu senyum
kekecewaan. Iya, ken tahu bahwa sang kakak kini telah kecewa, Ken yakin akan
hal itu.
“Ken.....kau tahu kenapa aku tak
pernah bercerita tentang penyakit ini kepadamu ?” Ibuki menatap lembut adiknya
yang kini hanya terdiam kaku.
“Karena...karena ini yang tak
pernah aku inginkan.”
“Kau adalah harta terbesarku Ken,
kau adalah harapanku.” Ibuki mengambil jeda, dada Ken semakin sesak.
'Kami-sama, rencana apa yang telah kau susun untuk kakakku ini ? kenapa
bukan aku ?!' kesal Ken dalam hati.
“Sejak awal aku bertemu denganmu,
aku telah berjanji akan menjagamu. Dan ketika ayah dan ibu meninggal pun
keyakinanku untuk menjaga dan membuatmu bahagia ini semakin kuat. Aku ingin kau
tetap menjaga mimpimu Ken chan, sampai kapanpun. Dan sekarang....aku merasa
gagal.” Tetes demi tetes asin itu pun keluar begitu saja. Ibuki tak tahu
kenapa, namun yang ia rasakan sekarang ia telah gagal menjadi seorang kakak
yang ingin menjaga dan membahagiakan adiknya.
Ken memeluk Ibuki perlahan. Kini
sekaranglah waktunya ia yang menjaga kakaknya.
“Nii-san, untuk apa aku bahagia
jika aku melihatmu seperti ini, aku tak membutuhkan mimpiku itu Ibuki Nii-san,
yang aku butuhkan hanya ingin melihatmu tersenyum dan sembuh, jadi ijinkan aku
yang menjagamu sekarang.”
Malam itu sepertinya Ken dan
Ibuki bertukar posisi. Ken yang akan menjaga kakaknya. Sang kakak meskipun
dengan berat hati pun mencoba mengerti, karena sekarang kebahagian Ken adalah
Ibuki.
----------------
2 bulan kemudian
“Dokter, tolong selamatkan
kakakku.” Suara Ken parau, menahan air mata yang sudah ingin jatuh.
“Hanya keajaiban Ken yang bisa
menyelamatkan kakakmu sekarang.” Ucap dokter dengan nada lemah seakan tak ingin
mengatakan hal itu kepada Ken.
Ken tak menjawab, ia menggigit
bibir atasnya. Diangkatnya wajahnya agar air mata itu tidak mengalir melalui
pipinya yang putih.
“Maafkan aku Ken, tak ada yang
bisa kuperbuat banyak sekarang.” Ia menghembuskan nafas dengan pelan, menepuk
bahu Ken yang kini bersandar di tembok luar kamar kakaknya di rawat dan
berjalan menjauh, meninggalkan Ken yang sendirian.
Dan bening asin itu jatuh. Dengan
sengaja dibenturkannya kepala belakangnya ke tembok kokoh itu. Bulir-bulir itu
mengalir dengan deras tanpa bisa ia tahan. Segala perasaan tercurah melaluinya.
Jika saja ia bisa menggantikan peran kakaknya.
Keadaan Ibuki memang berangsur
membaik sejak Ken memutuskan untuk selalu berada di sisinya. Ken adalah alasan
Ibuki hidup, bertarung melawan penyakitnya. Namun apa daya, jika tangan Tuhan
sudah menggariskan semuanya, manusia tak ada yang bisa merubahnya.
ICU
Ditatapnya sosok yang terbaring,
ringkih. Kedua mata hazel itu terpejam. Pucat, itu yang Ken dapat ketika ia
mendekati sosok yang semakin melemah itu. Di tangan Ken terdapat 4 tangka bunga
lycoris merah, bunga favorit kakaknya dan dirinya. Bunga dengan penuh kenangan
bagi mereka berdua. Karena dulu kedua orang tua mereka selalu mengajak Ken dan
Ibuki ke taman yang dipenuhi bunga lycoris merah yang berbunga. Bahkan ketika
kedua orang tua mereka meninggal pun Ken dan Ibuki masih sering ke tempat itu,
memetik beberapa bunga lycoris dan di pajangnya di ruang tamu.
Dengan pelan ia memasukkan bunga
itu ke dalam vas bungan kaca yang terdapat di atas meja di sebelah sang kakak terbaring.
Di pandangnya dengan sendu bunga itu. Selama beberapa detik Ken terdiam.
Kemudian iris abu-abunya ia alihkan ke samping, tepat ke sosok lemah sang
kakak.
Ken duduk tepat di sebelah Ibuki.
Di genggamnya tangan kanan yang sangat lemah itu. Hanya memandang raut yang
pucat, tanpa mengeluarkan kata-kata. Ia tahu hidup Ibuki tak akan lama lagi.
Namun ia tetap tak menginginkannya, dalam hatinya ia yakin akan terjadi sebuah
keajaiban yang akan memberikan Ibuki umur panjang.
Sore itu, awan hitam mulai menyelimuti
Tokyo. Angin yang berhembus dengan dingin mengibarkan tirai putih di ruangan
itu. Ken baru saja akan berdiri untuk menutup jendela, namun ia merasakan
tangan sang kakak bergerak, menggenggam dengan lemah jemari Ken. Dengan kaget
Ken duduk kembali, memandang Ibuki yang kedua matanya mulai terbuka.
Senyuman itu, dalam keadaan
apapun senyuman itu tak pernah luntur.
“Ken----chan...” ucap lirih Ibuki
yang langsung di respon Ken dengan anggukan, “Iya Nii-san, aku disini.”
“Aku...selalu merasa kau...kau adalah
adik kandungku Ken.” Iris hazel itu menatap ke langit-langit kamar.
“Sejak pertama melihatmu ketika
Ayah membawamu hari itu, entah kenapa aku merasa hangat.” Ibuki tersenyum getir
mengingat hari pertama ketika ia melihat si kecil Ken yang pemalu.
Ken tak bersuara, ia menunduk
digenggangamnya dengan erat jemari kakaknya. Embun telah berhasil menguasai
kedua matanya. ‘Kumohon jangan menangis
Ken’ kuatnya dalam hati.
“Dan...sejak saat itu aku
berjanji untuk selalu berada di dekatmu, karena...aku tak menginginkan perasaan
hangat yang tak pernah aku rasakan itu hilang Ken.” Ibuki menelan ludahnya
dengan berat.
“Tapi, aku rasa Tuhan tak
menginginkanku untuk lebih lama merasakan kehangatan itu.”
Tes
Air mata telah berhasil jatuh.
Emosi itu meluap kembali. Ingin diusapnya air mata itu dengan punggung
tangannya. Tapi sang kakak dengan cepat menahan tangan Ken. Ia mendongak,
memandang Ibuki yang tengah tersenyum kepadanya.
“Maafkan aku Ken, maafkan kakakmu
ini yang tak bisa memberimu kebahagiaan, maafkan---“
“Chigau !” Ken dengan cepat
memotong perkataannya Ibuki. Di remasnya sprei putih itu, punggung Ken
bergetar.
“Nii-san tak perlu meminta maaf. Aku...aku
sudah sangat bahagia bisa hidup bersamamu dan berada di sampingmu.
Meskipun....” Ken menggantung kata-katanya.
Mendung semakin berarak-arak,
langit hitam yang berkuasa. Menutupi semburat jingga yang menggantung.
Terdiam selama beberapa saat, mereka
berdua membiarkan kesunyian yang berkuasa.
“Jika....aku adalah alasan
Nii-san untuk hidup, mengapa kau akan pergi ?! Lalu apa peranku selama ini
gagal ? Apakah memang dari kecil aku harus hidup sendirian ? atau apakah aku
memang tak pernah diinginkan ?!” Tanpa bisa menahan kembali, semuanya tertumpah
bersama perasaannya selama ini.
Ia bukan marah kepada apa yang
telah terjadi. Namun ia marah terhadap dirinya sendiri. Semua yang ada di
sampingnya satu persatu menghilang. Meninggalkan ia sendirian.
Ibuki terdiam, dengan halus ia
menepuk kepala Ken, seperti biasanya. Ditatapnya iris abu-abu yang memerah
karena air mata.
“Tak ada yang tak diinginkan Ken.
Takdir yang kelam, penyakit, kesendirian, dan kau. Semuanya mempunyai arti.
Kalau kau tak diinginkan, lalu apa yang akan terjadi kepadaku bila kau tak
pernah ada ?” Sinar mata yang semakin meredup itu membawa Ken terdiam.
“Kau telah membuatku hidup selama
ini. Kau yang membuatku menyadari betapa aku sangat beruntung bisa hidup.”
“Nii-san...” ia memeluk Ibuki
yang terbaring itu. dengan penuh rasa sayang, Ibuki menepuk lembut kepala Ken.
Sejak dulu Ken sangat menyukai bila sang kakak melakukan hal itu, membuatnya
menjadi tenang.
Tapi sekarang berbeda, mungkin
itu adalah tepukan terakhir yang akan dilakukan kakaknya.
Ken menangis tertahan. Ia ingin
selama mungkin memeluk tubuh lemah kakaknya, merasakan semua kehangatan yang telah
menemaninya selama hampir 21 tahun bersama. Seandainya waktu bisa diputar, ia
ingin kembali ke masa kanak-kanaknya dan tak pernah ingin menjadi dewasa.
“Kau telah dewasa sekarang Ken,
kau telah menjadi kuat sekarang.”
Ibuki semakin melemah, ia tahu
sebentar lagi Dewa Kematian akan menjemputnya. Di liriknya bunga lycoris yang
diam dengan tenang di sampingnya. Segala memori yang telah tersimpan rapi di
otaknya seakan muncul. Kedua orang tuanya, masa kecilnya, taman bunga lycoris,
dan Ken. Ia tersenyum. Di elusnya dengan lembut punggung Ken.
“Aku pamit Ken...arigatou,
sa..yo..nara...”
----------------
'Ibuki Nii-san, aku sangat dan sangat beruntung Tuhan mempertemukan kita
berdua. Aku bahagia menjadi adikmu selama ini. Dan aku juga bahagia karena kau
yang telah mengajariku semuanya. Seperti perkataanmu yang terakhir, tak ada
yang tak diinginkan. Dan sekarang aku menyadari kenapa aku ada. Aku ada karena ada kau
Nii-san. Sepertinya Tuhan memang menciptakanku untuk bisa membuatmu menikmati
hidup. Tapi maaf, selama ini aku belum bisa sepenuhnya membahagiakanmu. Tapi
mulai sekarang aku berjanji aku yang akan membuat hidupku ini bahagia, demi
kau. Dan aku yakin kau akan lebih bahagia di sana, karena bisa bertemu dengan
ayah dan ibu. Eh ya tolong titip salam untuk ibuku, aku ingin kau menceritakan
semua yang pernah kita lewati bersama kepada ibuku. Satu lagi, pasti para
bidadari di sana terpesona karena senyummu, aku yakin itu dan sekarang aku
sedang membayangkannya. Nii-san, tunggu aku sampai aku bisa menyusulmu disana. Sampai
jumpa Nii-san, doaku selalu menyertaimu.'
Ia membuka kedua matanya, kedua
tangannya masih saling merapat. Ia tersenyum, menatap nisan di depannya yang
bertuliskan Matsuhita Ibuki.
Kini, salah satu tangannya
mengambil beberapa tangkai bunga lycoris merah disampingnya. Menaruhnya di
depan makam sang kakak. Itu bukan bunga lycoris yang terakhir untuk Ibuki, ia berjanji.
Karena akan ada bunga-bunga lycoris lainnya yang akan ia bawakan untuk sang
kakak. Kemudian ia berdiri. Angin lembut menarikan rambut coklat tuanya. Di
lihatnya semburat jingga di ufuk barat.
'Lycoris, aku menyukainya Ken. Kau tahu kenapa ? karena Lycoris adalah
bunga yang Ibu kenalkan pertama kepadaku, dan Lycoris adalah senja. Dan sudah
kau ketahui bahwa warna langit senja selalu berhasil mencuri perhatianku,
langit yang memberikan kedamaian bila kau memandangnya. Dan berkat tangan hebat
Tuhan senja tak pernah sama Ken, ia selalu berbeda.'
“Iya Nii-san kau benar. Senja tak
pernah sama.”
----OWARI----
Ps : Lycoris dalam bahasa Yunani
berarti ‘senja’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar