Title :The End of Winter, The Beginning of Spring
Part : 1 / ?
Author : Lycoris & ShiKi (https://46ppoi.wordpress.com/)
Genre : Drama, Angst
Rating : General
Fandom : GARNiDELiA & DaizyStripper
Cast : MARiA, Yuugiri, Kazami, dan beberapa
figuran(?)
WARNING :
Random !! Tighten your seatbelts please (?)
–Because we’re not the same anymore—
Kesegaran
air mineral mengaliri tenggorokan Yuugiri yang kering karena terus bernyanyi
selama dua puluh menit terakhir. Tegukan demi tegukan air ia minum dengan
santai sembari memasang telinga pada suara teriakan yang meminta encore. Ah...
selain sorakan heboh para penonton saat dia sedang perform, gemerlap lighting
yang disetting mengikuti lagu yang mereka mainkan, suara riuh penonton
yang meminta encore selalu jadi bagian favoritnya. Suara-suara yang
selalu memberinya semangat meski badannya basah bersimbah keringat dan
staminanya terkuras karena banyak bergerak.
Yuugiri
tersenyum lalu menaruh botol minumnya di meja. Dia segera mengganti kostumnya
yang basah dengan kaos tour mereka.
"Sudah siap?" Tanyanya pada keempat
rekannya yang lain.
Mereka
mengangguk. Sang leader yang poninya lepek karena keringat mengulurkan
tangan ke depan. Memberi kode pada yang lain untuk membuat kerumunan melingkar
dan saling menyemangati satu sama lain.
"Ayo kita selesaikan!" Teriak Mayu
sekuat tenaga.
Yang
lain membalas dengan teriakan yang tidak kalah bertenaga lalu beranjak dari
ruang ganti melewati lorong sempit live house menuju panggung. Sudah
waktunya kembali menyapa para penonton dan memberikan apa yang mereka minta.
Sorakan
riuh menyambut saat mereka satu per satu kembali berdiri di panggung. Yuugiri
memberi kode pada si drummer bahwa dia sudah siap. Dan encore pun
dimulai.
Kedua manik
yang tertutup oleh lensa kontak warna biru tua itu tak mengalihkan pandangannya
sama sekali. Sosok yang berdiri di atas panggung seakan mengalihkan dunianya
sekarang. Riuh suara teriakan yang haus akan hiburan seakan hanya bisikan yang
tak ia hiraukan. Dunianya seakan bergerak lambat, kedua penglihatannya hanya
terfokus pada satu titik, jadi inikah sosok yang ia cari selama ini?
Mungkin
rupa bisa berubah tapi satu yang ia yakini bahwa sorot tajam kedua mata itu
akan tetap sama. Akan tetap sama menyejukkan dan membuatnya nyaman.
Ia
buka dua kancing teratas jaket berwarna coklat. Rupanya meskipun ia tak ikut
berteriak, melompat dan menggerakkan kepala seperti penonton yang di depannya,
itu sudah membuatnya kepanasan.Hampir sepanjang konser ia tak tahu lagu apa
yang dibawakan bahkan nama dari band yang sekarang sedang ia saksikan baru satu
jam yang lalu ia ketahui, DaizyStripper.
“Kau...telah banyak berubah,” katanya pelan
tanpa mengalihkan sedikit pun pandangan kepada sang vocalist.
Yuugiri
menyemburkan air yang seharusnya ia teguk pada barisan depan penonton yang
hampir sama berkeringatnya dengan dirinya dan keempat temannya lalu melempar
botol minum yang sudah kosong ke barisan tengah. Setelah menyampaikan terima
kasih pada fans dan penonton yang datang, dia kembali menghilang ke balik
panggung bersama rekannya yang lain. Kembali ke ruang ganti untuk mengeringkan
keringatnya dan beristirahat. Konser mereka hari ini sudah berakhir, tapi
sensasi yang terasa di dadanya masih sama seperti biasanya. Sensasi adiktif
yang membuatnya merasa tidak ingin berhenti dan turun dari panggung. Tapi
yah...
Durasi
untuk hari ini sudah berakhir. Tapi masih ada konser lain yang menunggu mereka
di lain waktu dan tempat. Yuugiri harus menyimpan tenaganya untuk itu.
"Sudah selesai yaa...”ucapnya pelan, ada
nada kekecewaan disitu.
Dilangkahkannya
kedua kakinya dengan berat seiring lighting yang mulai meredup dan
penonton yang mulai berhamburan keluar.
Sebenarnya
jika ingin, ia bisa saja menunggu kepulangan mereka khususnya sang vocalist.
Seperti yang dilakukan beberapa fans perempuan yang ia lihat. Tapi tidak, tidak
untuk sekarang. Melihatnya dari jauh pun sudah cukup untuk hari ini.
Ia
berjanji akan melihatnya lagi di konser-konser yang lain, pasti. Maka dengan
langkah enteng ia pun kembali pulang menyusuri Tokyo, kota yang sangat ia
rindukan.
-flashback-
-seminggu yang lalu-
Pesawat
yang membawanya dari negara kincir angin itu mendarat dengan selamat. Membawa
sekitar 250 penumpang termasuk dirinya. Sudah berapa lama ia meninggalkan kota
yang terkenal dengan menara Tokyo-nya ini? Ia tak bisa menghitungnya, dan ini
menjadikan kunjungan pertamanya setelah kepergiannya meninggalkan negara dimana
ia dilahirkan.
"Tadaima, Tokyo...”
"Sumimasen, bias mengantarkanku
ke alamat ini?” tanyanya dengan bahasa Jepang yang untung saja masih fasih
kepada seorang supir taksi.
"Naiklah, nona.” kata supir taksi itu.
Sebuah
koper berukuran sedang telah masuk ke dalam bagasi mobil. Dipeluknya erat tas
punggungnya ketika taksi telah meninggalkan bandara.
Diingat-ingatnya
kembali bagaimana Tokyo ketika terakhir kali ia lihat, semuanya telah banyak
berubah. Di dalam taksi ia berbicara dengan supir itu, menanyakan berbagai
macam hal yang menurutnya asing, dengan sesekali mengangguk-angguk dan berucap
'oh'.
Setelah
hampir setengah jam dari bandara Narita akhirnya ia sampai di alamat yang
dituju. Dikeluarkannya koper dari bagasi taksi. Setelah membayar uang sesuai
dengan argo yang tertera, ia membungkukkan badan kesupir yang sudah berumur
sekitar lima puluh tahunan.
Bangunan
yang ada di depannya inilah yang akan menjadi tempat tinggal sementaranya
ketika di Tokyo.
-beberapa hari yang lalu-
"Maria...jika kau ingin kembali lagi,
kami akan sangat menerimamu,” suara berat seorang pria dibalik telpon membuat
perempuan itu tersenyum.
"Terima kasih, Ayah. Tapi tujuanku belum
tercapai disini. Dan aku tidak yakin bisa kembali lagi ke Amsterdam tanpa
berusaha dulu disini. Aku...menyayangi kalian. Bye,” Ia pun menutup
teleponnya yang diakhiri dengan helaan nafas berat.
***
"Kau baik-baik saja?" Tanya
laki-laki bertubuh nyaris gempal sambil memegangi pundak Yuugiri.
Yuugiri
sendiri meringkuk di sofa dengan kedua tangan mencengkeram kepala. Mencoba
menahan rasa sakit yang menusuk-nusukkepalanya. Hal yang selalu terjadi jika
dia sedang kelelahan atau banyak pikiran.
"Bangunlah. Kuantar ke dokter."
Yuugiri
menggeleng sambil menggumam tidak jelas. Peningnya begitu menyiksa hingga
rasanya kepalanya seperti dipukuli benda tumpul. Dia lebih memilih pereda rasa
sakit sekarang. Sayangnya Kazami melarang keras. Dokternya juga tidak
mengijinkan. Rasanya sialan sekali. Sebenarnya siapa yang merasa sakit di sini?
"Minum dulu sebentar."
Sial. Bergerak saja susah apalagi bangun?
Umpatnya dalam hati.
"Kalau masih belum sembuh juga
sebaiknya kau tidak usah ikut in-store nanti—"
"Jangan bercanda!"
Entah
dapat kekuatan dari mana, Yuugiri bangun dan mencengkeram lengan Kazami sembari
memasang wajah antara menahan sakit dan kesal. Membuat air di dalam gelas
tumpah berceceran di sofa dan lantai.
"Oi... tenanglah sedikit..." Kazami
menaruh gelas yang dipegangnya di meja lalu duduk di samping Yuugiri,
"Kalau kau datang menemui fans dengan keadaan tidak fit begini, hanya akan
membuat mereka khawatir. Istirahat saja sampai kau merasa baikan."
"Setidaknya berikan aku obat pereda rasa
sakit atau apalah," kata Yuugiri dengan wajah ditenggelamkan di antara
kedua lututnya.
Kazami
hanya mengulas senyum meski dia yakin teman satu apatonya itu tidak melihat.
"Bertahanlah sampai Sakai-sensei datang," katanya sebelum
berdiri dan menyambar telepon di seberang ruangan.
Yuugiri
kembali menggumam tidak jelas. Kalau bisa, Yuugiri lebih memilih memotong
kepalanya sekarang supaya tidak perlu merasakan rasa sakit tidak berguna yang
terus menerus menusuk-nusuk kepalanya tanpa henti sejak tadi pagi. Maka dia
kembali menggulung badannya di sofa sambil mencengkeram kepalanya seolah jika
dia melakukan itu, rasa sakitnya akan menghilang.
***
Sembari
merebahkan tubuhnya di kasur, Yuugiri menscroll timeline Twitter-nya
dengan jengkel. Ada tweet yang berisi update tentang in-store event
hari ini dari staff dan teman-teman sebandnya.
"Mereka bersenang-senang tanpa
mengajakku," kutuknya dalam hati. Dan kutukan itu semakin menjadi
saat Yuugiri membaca tweet sialan Kazami.
'Terima kasih untuk yang sudah datang (^o^)/
Yugi-kun juga tetap bersemangat ingin bertemu
kalian semua meski tidak bisa hadir hari ini loh'
Kutukannya
juga melayang pada guyonan sang gitaris, Nao, sebagai balasan dari tweet
Kazami.
'Saking semangatnya sampai tepar haha'
"Ah, terserah!" Yuugiri melempar
iPhone-nya ke samping hingga memantul di kasurnya yang empuk lalu mengubah
posisinya. Dia ingin kembali menemui para fans yang selalu menjadi dopamine-nya
secepatnya.
.
.
Dengan
langkah kaki yang berat disertai helaan nafas berkali-kali Maria keluar dari
salah satu toko musik terbesar di Tokyo. Jelas sekali raut mukanya
menggambarkan kekecewaan. Bagaimana tidak, alasan utama yang membuatnya ke
tempat itu ternyata tidak ada.
Yuugiri
tidak ada, ia harus berkali-kali melihat ke arah para member tadi untuk
memastikan keberadaan Yuugiri, tapi dia benar-benar tidak ada. Jadi tanpa
menunggu event itu selesai pun ia meninggalkan tempat itu. Rasanya akan
percuma jika ia berlama-lama di sana.
Dan
sekarang ia sudah duduk di kursi sebuah taman. Tidak tau kenapa kakinya bisa
sampai di situ, padahal perempuan berambut pink itu tidak hafal jalan di Tokyo.
Selain itu taman ini sangat jauh dari keramaian kota.
Cukup
lama ia duduk sembari melihat ke beberapa anak kecil kira-kira berumur lima
sampai sepuluh tahunan yang sedang bermain di ayunan, bak pasir dan seluncuran.
Ia tersenyum-senyum sendiri melihat tingkah mereka.
Tunggu
dulu, rasanya...ini begitu familiar.
Bukan
karena ia sering melihat anak kecil bermain-main di sekitar rumahnya di
Amsterdam...
Tapi...tempat
ini...Ya, tempat ini. Beberapa kepingan ingatan yang tersembunyi itu kini
muncul di depannya. Dengan sigap ia berdiri dari kursi kayu, kedua maniknya ia
edarkan di sekitar taman.
Seperti
orang linglung, Maria berjalan atau lebih tepatnya setengah berlari keluar dari
taman yang tak begitu besar—seakan ia dituntun untuk menuju suatu tempat. Tak
seberapa jauh dari taman ia melihat sebuah bangunan. Cat yang sudah mengelupas,
rumput yang sudah tumbuh panjang, daun-daun gugur yang memenuhi halaman depan,
dan jendela yang sudah rusak. Seakan menunjukkan bahwa bangunan itu lebih mirip
rumah hantu.
Maria
terdiam. Dengan kaki yang seakan ditanam ke dalam tanah ia memperhatikan
bangunan itu.Hingga tak terasa setitik air mata jatuh disertai sebuah senyuman
yang terlihat seperti senyum kerinduan.
***
Pagi
itu Yuugiri menyeruput espresso yang masih beruap dengan santai. Dia
menggedikkan kepala agar poni sedagu yang menutupi sebelah matanya tersingkap
ke samping. Lalu, kedua mata yang sudah tidak terhalangi rambut itu menangkap
bayangan samar dirinya di kaca konbini yang tembus pandang. Memperlihatkan
rambutnya yang sudah hampir sepunggung. Yuugiri memilin ujung rambutnya. Tidak
sedikit yang mengatakan bahwa rambutnya sudah tumbuh terlalu panjang—Rei, sang
bassist, yang paling sering protes. Tapi dia masih menyukai rambutnya yang
seperti ini. Agak mengganggu memang. Dia jadi harus membawa ikat rambut
kemanapun jika tidak ingin kegerahan. Dan mungkin juga karena rambutnya belum
pernah sepanjang ini, dia jadi sayang untuk memotongnya.
Lalu,
sementara Yuugiri sibuk dengan rambutnya, dia tidak menyadari ada sepasang
manik bulat yang memperhatikannya dari luar konbini.
Gadis
itu, Maria, tidak sadar sudah hampir lima menit ia memperhatikan lelaki itu
dari balik kaca sebuah konbini. Mana mungkin dia bisa berpaling, lelaki itu
begitu dekat. Hanya berjarak kurangdari tiga meter meskipun terhalang oleh kaca
tembus pandang.
Seakan
waktu terhenti, ia terus menatap lelaki berambut sepunggung yang tengah
menyeruput kopinya yang entah itu rasa apa, ia tidak peduli. Karena semua
indranya terfokus pada satu makhluk yang menjadi alasannya untuk kembali ke
Jepang.
Ia
tidak sadar hingga Yuugiri melihat kembali ke arah Maria. Dengan gugup ia pun
segera membuang pandangannya. Kini yang ada di pikirannya adalah ia harus pergi
dan menghindar atau tetap diam disitu kedinginan menunggu si vocalist
menghampirinya.
Sesosok
perempuan bertubuh kecil menatap Yuugiri dari balik kaca konbini dengan
pandangan... takjub? Jalanan di depan konbini tidak seberapa terang, tapi
rambut panjang si perempuan yang dicat pink menarik perhatian matanya tanpa
sengaja. Entah sudah berapa lama dia di sana. Anak perempuan itu membuang muka
setelah sadar Yuugiri juga menatapnya. Mungkin fans, pikir Yuugiri.
Dia
kembali menyeruput espresso-nya seolah tidak terjadi apa-apa. Kalau
memang fans, mungkin detik berikutnya dia akan masuk ke konbini dan dengan
gugup bertanya padanya. Yuugiri menyunggingkan senyum setengah seringai sebelum
menaruh cup espresso-nya di meja. Baiklah, dia akan menunggu reaksi perempuan
itu selanjutnya.
Maria
menggigit bibir pelan —bukan karena merasakan udara dingin di bulan Februari.
Ia masih ragu, menghampiri lelaki itu atau pergi begitu saja. Jika
menghampirinya, ia tidak tahu harus berkata apa. Ia bukan fans dari bandnya
yang mungkin bisa berbicara banyak hal dengan Yuugiri. Namun jika pergi, ia
juga tidak tahu kapan lagi bisa menemukan kesempatan seperti ini.
"Apa yang harus aku lakukan....”ia
bergumam lirih dan membalik badannya. Mengatur nafas dan detak jantungnya.
Sementara
itu, kedua mata Yuugiri masih memperhatikan Maria yang sekarang mulai terlihat
sedang melakukan perang batin dengan dirinya sendiri. Ada sekelebat dorongan
untuk menghampirinya lebih dulu. Tapi dia hanya membawa kacamata berframe
hitam untuk menyamarkan wajahnya. Lagipula percuma, anak perempuan itu sudah
mengenali wajah Yuugiri.
Di
seberang sana, si anak perempuan rupanya sudah membulatkan tekat. Ya, menemui
Yuugiri. Lagipula ia sudah tidak memiliki banyak waktu lagi. Segera ia membalik
badannya dan bersiap untuk masuk konbini.
Namun...
Maria
menabrak sesuatu atau...seseorang.
"Gomennasai! Gomennasa—''reflek
ia mun dur dua langkah dan membungkukkan badannya kemudian mendongakkan kepala.
"Eh?'' Dan waktu di sekitarnya seakan
membeku dan terhenti.
Sampai
kapan anak itu mau perang batin? Batin Yuugiri kesal. Sudah hampir sepuluh
menit tapi anak itu tidak juga bergerak dari posisinya. Yuugiri berdiri setelah
membuang cup kosongnya ke tempat sampah, mengambil tasnya, memakai kacamatanya
lalu keluar dari konbini. Tapi baru tiga atau empat langkah, seseorang menabrak
Yuugiri dan kalang kabut meminta maaf.
"Daijoubu?" tanya Yuugiri
karena tubuh orang yang menabraknya jauh lebih kecil. Lalu baru disadarinya
ketika orang itu mendongak, rambutnya dicat pink.
Oh,
anak perempuan tadi.
"Daijoubu? Ojou-san," tanya
Yuugiri lagi pada si anak perempuan yang kini membatu di depannya.
Maria
segera sadar begitu ia mendengarkan suara Yuugiri. "A-a, daijoubu desu...''
ia mundur dua langkah dan membungkuk lagi—mungkin ini cara untuk menghilangkan
rasa gugupnya.
Yuugiri
terus memperhatikan Maria.
"Anou... bukannya aku mau ikut
campur, tapi apakah kau sedang banyak pikiran? Kuperhatikan sedari tadi kau
seperti orang hilang. Bisa berbahaya loh kalau berjalan di tempat ramai seperti
ini dengan pikiran yang tidak berada di tempatnya," Yuugiri mengulas
senyum yang sepertinya membuat anak itu terlihat semakin gugup.
Perempuan
yg tengah memakai mantel berwarna abu-abu muda dan scarf hitam itu
mencoba berkata lagi, tapi percuma. Bibirnya seakan terkunci rapat. Ia menarik
nafas, mencoba menghilangkan kegugupannya. Dengan senyum dan raut 'wajar'nya,
ia menghadap lelaki yang lebih tinggi darinya itu.
"Aku tidak apa-apa, maaf sudah membuatmu
khawatir, dan—“ Maria menggantung kata-katanya, ditariknya nafas dan
dihembuskannya dengan tenang, “Akhirnya kau bisa melihatku...'' sebuah senyum
tulus tersungging di bibirnya, seakan sebuah senyum yang menggambarkan
kelegaan.
Ia
membungkuk, memutar badannya dan berjalan menjauhi Yuugiri.
"Hah?" Yuugiri menatap keheranan
punggung anak perempuan tadi yang mulai menjauh dan menghilang di antara
kerumunan. Ah, mungkin fans yang sudah lama ingin bertemu, pikir Yuugiri
sembari memutar langkahnya menuju gedung apartemennya yang berjarak sekitar
sepuluh menit jalan kaki daritempatnya sekarang.
Sambil berjalan, dia menghirup napas
dalam-dalam. Dan detik berikutnya dia menyesal.Yuugiri langsung bersin karena
udara Tokyo yang masih dingin.
Semenit
kemudian Maria tersadar.
"Baka! Harusnya aku
memperkenalkan diri, dan...dan...dan aaaarrgh! Maria kau bodoh sungguh bodoh!''
Maria merutuki kebodohannya sendiri.
Ia
berbalik dan mencoba mencari sosok Yuugiri lagi, tapi...tidak ada. Sosok itu
sudah hilang di tengah orang-orang yang berlalu lalang.
"Maria...kau benar-benar bodoh...”
ujarnya pelan.
"Tadaima~" kata Yuugiri pada
dirinya sendiri setelah masuk keruang apartemen minimalis miliknya. Tidak ada
banyak barang di ruang tamunya. Hanya sofa, meja, televisi, sound system,
beberapa rak dan beberapa pot kaktus kecil di dekat pintu kaca menuju balkon.
Dia melepas sepatunya di genkan lalu menuju kamar pribadinya kemudian
menaruh tas dan jaketnya sembarangan di atas kursi kayu di samping tempat
tidurnya. Yuugiri menguap. Dia lelah setelah beraktifitas seharian. Dia harus
memulihkan tenaganya untuk live besok. Dia ingin cepat mandi dan tidur.
.
.
Maria
kembali berdiri di belakang. Menikmati setiap dentuman musik keras yang tidak
terlalu ia pahami. Tapi karena ada Yuugiri yang sedang bernyanyi dan mengitari
panggung kecil live house itu makanya ia rela menonton. Ia sudah hampir
jatuh jika saja ia tidak berpegangan kepada tiang yang ada disebelahnya. Apa
fans perempuan di sampingnya ini tidak tahu ada Maria hingga seenaknya
mendorongnya—entah itu sengaja atau tidak—ke samping.
"Ah, benar juga...” ia tersenyum masam.
Ia
kembali terfokus kepada aksi Yuugiri dipanggung setelah berhasil berdiri dengan
tegap.
"Ne, kau benar-benar telah
berubah sekarang....''
Yuugiri
berheadbang penuh semangat. Membiarkan rambutnya terkelulai mengikuti
gerakan kepalanya kemudian mengayunkan lengannya kepada lautan fans di live
house, memberi kode pada mereka untuk moshing mengikuti arahan tangannya.
Dia juga memasang senyum lebar sambil bernyanyi. Selalu ada perasaan
menyenangkan saat dia melakukan itu di atas panggung. Perasaan yang terus
mendorongnya agar tidak berhenti.
Ia
menarik napas. Bersiap-siap melakukan scream panjang sebelum lagu selesai.
Yuugiri akan meneriakkannya sekuat tenaga hingga suaranya menggema di
langit-langit live house, lalu kembali menghujam ke bawah menuju hati
para penonton yang datang. Mungkin saat ini ada penonton yang baru pertama kali
melihat mereka, mungkin juga untuk yang terakhir kali. Kalimat itu selalu
tertanam di hati Yuugiri. Memberinya motivasi untuk terus menampilkan yang
terbaik pada mereka yang baru atau pun yang sudah lama mengenal DaizyStripper.
Lagu
mereka berhenti begitu Yuugiri mengakhiri screamnya. Disusul dengan
teriakan antusias dari penonton yang datang.
Ia
tersenyum lebar. "Yah, sepertinya kami akan beristirahat sebentar sebelum
memeluk kalian dengan keringat yang bersimbah," katanya kemudian tertawa.
Sorotan
lampu live house berganti ke arah penonton. Membiarkan panggung
berpencahayaan remang-remang agar dia dan rekannya bisa bersiap untuk agenda
setelah ini. Hug event yang rutin diadakan setiap Hari Valentine.
Dilihatnya
antrian yang memanjang. Maria ragu apakah ia ikut mengantri untuk event
'pelukan' ini atau tidak. Lagi, ia harus bergulat dengan pikirannya sendiri.
Ikut atau tidak.
Tapi
disinilah dia sekarang, berada di tengah antrian para fans perempuan yang
berjubel untuk mendapatkan pelukan dari para member. Tentu saja ia akan memilih
Yuugiri, sang vocalist yang sekarang disertai peluh memeluk fans-fansnya. Kalau
boleh berkata, Maria merasa iri dengan para fans --bukan orang biasa
sepertinya-- yg bisa bercakap-cakap dengan lepasnya dengan Yuugiri. Tapi apa
boleh buat, Yuugiri memang seorang artis disini, dan satu yang membuatnya
semakin kecewa, sepertinya Yuugiri sama sekali tidak mengenali Maria ketika
insiden tubrukan badan itu terjadi kemarin.
Memang
pada awalnya ia sama sekali tidak ada niatan untuk memeluk Yuugiri, ia hanya
ingin sekali lagi bertatap muka dengan lelaki itu dan mengatakan namanya.
Diperhatikannya
Yuugiri dengan seksama, laki-laki yg terpaut umur 10 tahun darinya itu tengah
tersenyum lebar meskipun raut wajahnya terlihat letih.
Tinggal
tiga orang lagi dan ia akan berhadapan lagi dengan Yuugiri.
Yuugiri
tidak menghitung lagi berapa banyak orang yang dipeluknya. Yang ada di
pikirannya sekarang adalah bagaimana dia bisa berbagi kehangatan dan kebahagian
kepada deretan pengunjung—yang mayoritas perempuan—yang mengantri panjang.
Dia terus tersenyum lebar sambil memberi semangat dan mengucapkan terima
kasih karena sudah datang. Lalu, setelah memeluk seorang fans perempuan yang
mengaku datang jauh-jauh dari Nagoya, muncul sosok tidak asing melangkah ragu-ragu
mendekatinya.
Lelaki
itu mencoba mengingat, "Kau kan... yang kemarin?" Katanya akhirnya
pada sosok berambut pink di depannya.
Seperti
sebuah sulap, keraguan serta kegugupan Maria hilang ketika Yuugiri berkata
kepadanya. Reflek ia memandang kedua mata yang tertutup kontak lensa coklat.
Maria
tersenyum simpul dan mengangguk, "Apakah disini aku harus memelukmu ?''
Yuugiri
tertawa kecil menanggapi kalimat polos Maria, "Aku yang akan
memelukmu," tanpa aba-aba, Yuugiri langsung merengkuhkan lengan pada tubuh
kecil Maria yg berada di depannya lalu menepuk punggungnya beberapa kali
sebelum melepaskannya dan memberi kesempatan pengunjung lain untuk mendapatkan
pelukannya.
"Datang lagi ya!" tambah Yuugiri.
"Etto, namaku...Maria tolong
diingat yaa.'' Maria tersenyum dan membungkukkan badannya singkat.
"Ah iya, aku berharap bisa mendengarkan
lagu Misery. Jaa...” ia undur diri dan berjalan menjauh.
Kening
Yuugiri berkerut. Seingatnya, staff dan member lain belum memberitahukan
tentang encore kejutan yang—entah kebetulan atau apa—salah satu setlistnya
adalah Misery milik Hide. Lalu tiba-tiba seorang anak perempuan memintanya
mengingat namanya dan meminta lagu favorit Yuugiri itu dinyanyikan.
"Maria ya..."
Tapi
perhatiannya segera teralihkan pada pengunjung lain yang sudah mengantri.
Gadis
itu kembali berdiri di tempat asalnya tadi. Ia tersenyum sendiri, rasanya lega
sekali ia akhirnya bisa berbicara dengan Yuugiri. Yuugiri memang banyak berubah
tapi satu yang tetap sama, sorotan kedua matanya yang selalu bisa membuat Maria
merasa hangat.
Lighting tiba-tiba meredup dan satu persatu member
band pun memasuki panggung lagi. Segera ia terfokus kembali kepada Yuugiri. Ya,
hanya Yuugiri.
"Ah, rasanya baru tiga menit berada di
sini," Yuugiri tertawa, diikuti teman-temannya dan beberapa penonton.
"Entah sudah berapa kali aku mengatakan ini... AKU MENCINTAI KALIAN!"
Sementara
Kazami memukul drumnya bersamaan dengan teriakan Yuugiri, mata Yuugiri
menyusuri deretan penonton di depan panggung. Lalu matanya menangkap sosok
berambut pink, mencolok di bagian paling belakang kerumunan. Berdiri sejajar
dengan posisi Yuugiri berdiri. Sedang memandang ke arah panggung dengan
ekspresi antara bahagia dan... sedih.
"Saa! Karena ini hari spesial,
kami ingin membawakan lagu spesial juga. Bukan lagu kami sendiri, tapi...
setiap orang pasti punya orang yang membuat mereka bersyukur telah dilahirkan,
bukan? Sayangnya... tidak semua dari kita bisa menyampaikan rasa terima kasih
kita lewat kata-kata. Hari ini, lewat lagu ini, semoga kalian semua bisa mengungkapkan
rasa terima kasih pada orang yang kalian cintai..."
Yuugiri
memberi kode pada Kazami yang sudah menyesuaikan duduknya di depan keyboard.
"Hide-san... Misery..."
Di
ujung belakang kerumunan penonton, Maria terkejut. Lagu itu.....
Baru
beberapa menit yang lalu ia berkata kepada Yuugiri bahwa ia ingin mendengarkan
lagu Misery, dan sekarang....
Dengan
ekspresi antara bahagia, dan terharu ia memperhatikan dentingan piano serta
suara tinggi Yuugiri. Seakan semuanya kembali lagi ke masa lalu.
"Jangan menangis lagi, Mai-chan."
“Hiks hiks....”
"Baiklah kalau begitu, aku akan
menyanyikan sebuah lagu untukmu, ini adalah lagu favoritku."
Tak terasa pipi yang bersapu blush on
pink itu basah oleh air mata yang turun secara perlahan.
Sudah
selesai.
Lagu terakhir
sudah mereka bawakan. Yuugiri bersama keempat rekannya kini berdiri di tepi
panggung untuk melakukan ritual rutin mereka setiap selesai one-man, saling
bergandengan tangan lalu membungkuk bersamaan kepada para penonton lalu
melompat dan berteriak, "Otsukare~ sampai bertemu lagi!"
Lighting meredup. Mereka turun ke backstage
bergantian dengan teratur. Kecuali Yuugiri. Dia buru-buru turun lebih dulu dan
meminta—lebih tepatnya memaksa—salah satu staff untuk mencari seseorang. Maria.
Yuugiri harus bertemu dengan perempuan itu untuk menanyakan sesuatu.
Namun
di sisi lain, segera setelah lighting padam, dan member sudah
meninggalkan panggung, Maria bergegas membereskan jaket tebalnya serta tasnya.
Ia berjalan keluar dari live house dengan langkah tenang. Paling tidak
sekarang sedikit demi sedikit tujuannya tercapai. Bahkan ia sampai tidak
menyadari bahwa ada salah seorang staff tengah yang mencari-carinya dibelakang.
"Saya tidak bisa menemukan orang yang
Anda maksud." Yuugiri menghela napas lalu menyuruh si staff kembali ke
pekerjaan awalnya.
Cepat
sekali dia pergi, pikir Yuugiri. Sekarang bagaimana caranya menemukan Maria
lagi? Yuugiri kembali menghela napas lalu duduk di sofa dan mengeringkan
keringatnya dengan handuk.
"Akhirnya kau bisa melihatku..."
Kalimat
itu terus menganggu Yuugiri saat dia mulai menghapus make-upnya. Kalau
memang Maria hanya sekedar fans yang sudah menunggu lama untuk bisa bertemu
Yuugiri, dia seharusnya mengatakan "Akhirnya aku bisa melihatmu",
bukan sebaliknya.
Atau
mungkinkah Maria fans yang datang dari luar negeri sehingga grammarnya
sedikit berantakan? Mengingat wajahnya yang tidak terlalu keJepangan? Atau...
Seseorang
dari masa lalu Yuugiri...
Kepala
Yuugiri mulai berdenyut.
Ia
menaruh kapas kotor di meja, membiarkan wajahnya setengah bersih lalu menyambar
ponselnya untuk mendial nomor yang berada paling atas di daftar kontaknya.
Yuugiri menempelkan ponselnya di telinga sambil menunggu teleponnya diangkat.
"Halo, mama..." kata Yuugiri begitu
terdengar kata ‘halo’ dari speaker teleponnya.
"Ada apa, Yugi-kun?" tanya
ibunya lembut dan penuh perasaan.
"Apa aku dulu punya teman bernama
Maria?"
"Maria?" terdengar nada heran di
suara ibunya. "Seingat mama tidak ada. Ada apa?"
Yuugiri terdiam lama.
"Yugi-kun?"
"Ah, tidak apa-apa. Hanya ingin
bertanya... baiklah, kalau begitu. Aku akan menelepon lagi nanti."
"Baru selesai live ya? Sampaikan salamku
pada teman-temanmu."
"Un... terima kasih, mama,"
Yuugiri mengakhiri teleponnya. Seiring dengan kepalanya yang kembali berdenyut
sakit.
Maria itu siapa?
--End of Part 1--
Hwahahahahahaha akhirnya bisa dipublish meskipun ini fic kelarnya dari jaman kapan tau, hasil duet kedua bersama si ayam lover(?) ShiKi. Maaf ya atas segala kegajean dan ketidak jelasan. berbagai kendala telah dihadapi demi kelarnya ini fic dan sampai fic ini dipublish. Terima kasih untuk lagu-lagu galo(?) selama pengeditan dan percakapan random yg terkadang mewarnai plotting gaje kita selama di WA *ketjoep sampe penyet ShiKi* (?)
Terima kasih untuk yg sudah membaca. nantikan part-part berikutnya yg tak kalah gajenya.
Salam hangat penuh rahmat
Lycoris
Tidak ada komentar:
Posting Komentar