Pada zaman dahulu di negeri mimpi, hiduplah seorang Puteri bernama Mawar. Wajahnya sangat cantik, dan dia begitu menyukai puisi. Suatu ketika, di luar istana, hujan sangatlah lebat, ditambah dengan gemuruh dan halilintar yang begitu dahsyat, Puteri Mawar berdiri di balik jendela. Puteri Mawar begitu gelisah, karena hujan yang datang telah lama mengguyuri seluruh Negeri Mimpi. Sang Raja, ayah Puteri Mawar, begitu gelisahnya memikirkan hujan yang berkepanjangan itu. Didatangkanlah banyak pawang hujan ke negerinya, namun hujan yang turun, tak juga reda. Dan Puteri Mawarpun ikut mersakan kegundahan yang sama dengan sang Raja.
“Aku harus mencari sendiri pawang yang bisa menghentikan hujan yang telah hampir tigabulan melanda ini”, fikir Puteri Mawar. “Tapi, bagaimana caranya ya…”. setelah lama berfikir, dan tidak juga menemukan jalan keluar, akhirnya Puteri Mawar memutuskan diri untuk pergi ke negeri tetangga, yaitu Negeri Sunyi. Puteri Mawarpun meminta izin kepada Raja, dan diapun pergi dengan membawa banyak pengawal, dengan mengendaarai kereta kuda.
Di perjalanan, dia bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang tertidur di sebuah saung sawah. Puteri mawarpun turun dari kereta, menghampiri lelaki itu.
“Permisi, Kang…”, sapa Puteri Mawar. Dan lelaki itu serentak bangun dari tidurnya.
“Iya, ada apa ya…”, jawab lelaki itu dengan mata yang merem-melek, dengan hati yang kaget, dan dengan rasa jatuh cinta.
“Saya Puteri Mawar, Anak Bungsu dari Raja Negeri Mimpi.” Puteri Mawar dengan sopan dan penuh rendah hati, memperkenalkan diri. “Saya mau tanya, apakah saya sudah berada di wilayah Negeri Sunyi?”
“Oh, Iya, sudah…”, dengan was-was dan sedikit ketakutan karena melihat begitu banyak orang yang mengawal Puteri Mawar, Lelaki itu menjawab. “Ada yang bisa saya bantu…?”
“Saya ingin bertemu dengan Pawang Hujan di negeri ini. Apa kamu bisa menolong saya?”
“Saya dengar di Negeri Tuan Puteri tengah dilanda hujan yang berkepanjangan ya… “, tanya Lelaki itu.
“Benar, oleh karena itulah Saya pergi jauh-jauh ke sini, mencari pawang hujan yang bisa menghentikan hujan di negeri saya. Apa kamu bisa membantu?”
Lelaki itu, karena sudah jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Puteri Mawar, dia pun langsung menjawab “Iya, saya bisa bantu. Tuan Puteri tak harus pusing-pusing lagi mencari pawang hujan…”, kata lelaki itu dengan penuh percaya diri, “Tuan Puteri telah menemukan orang yang tepat untuk menghentikan hujan di negeri Tuan Puteri”, dengan berani dia menawarkan diri. Padahal lelaki itu sebenarnya bukan pawang hujan, dia hanya penyair, ya, penyair yang punya keyakinan bahwa; apapun yang kita inginkan, jika dicapai dengan penuh keyakinan dan percaya diri, maka keinginan itu pasti akan terwujud.
“owh, betapa beruntungnya saya bertemu dengan kamu, kalau begitu, marilah ikut ke negeri saya, dan jika memang kamu bisa, tolong hentikan hujan yang tak henti mengguyur negeri kami”, dengan rasa bahagia, Puteri Mawar mengajak lelaki itu untuk pergi ke negerinya.
“Baik, Tuan Puteri…”, dengan tanpa keraguan lelaki itu mengiyakan.
Setelah masuk ke wilayah negeri mimpi, dikenalkanlah penyair yang mengaku sebagai pawang hujan itu, kepada Raja, ayah Puteri Mawar.
“Ayahanda, inilah orang yang akan menghentikan hujan berkepanjangan di negeri kita…”
“Hmm, anak muda, apa kamu yakin bisa menghentikan hujan ini?”
“Saya yakin, Tuan Raja…”
“Baiklah, kapan kamu mau mulai?”
“Sekarang, Tuan Raja, saat ini juga!!”, dengan penuh keyakinan. “Tapi, Tuan Raja…”
“Tapi apa, Pawang Hujan…”
“Kalau saya boleh tahu, imbalan apakah yang akan Tuan Raja berikan andai saya bisa menghentikan hujan ini?”
“Hangan khawatir, Pawang Hujan, jika kamu berhasil menghentikan hujan ini, maka aku akan mengabulkan apapun permintaanmu”
“Apapaun, Tuan Raja?”
“Ya, apapun!!!”
Sementara itu, angin dan halilintar serta gemuruh guntur di luar istana kerajaan, kian mengencang, kilatan-kilatan menghiasi langit selayak pesta kembang api. Si Pawang Hujan mulai melakukan aksinya. Puteri Mawar terus menerus memerhatikan si Pawang Hujan, sepertinya dia hanyut, dan hampir saja jatuh cinta. Pawang Hujan lalu menuju pintu depan istana, sembari menatap ke langit, dia mulai membacakan mantra hujan;
Hujan,
Langit melahirkanmu
Langit pula yang akan menguburmu
Maka jika aku menawarimu melebur
Larutlah dengan tanah
Hujan,
Tak usahlah kau lama bertamu
Hingga tak lagi ada siang dan malam
Cukupkan, dan pergilah
Hujan,
Jika aku menawarimu satu detakkan
Kau pilih detakkan yang mana
Ambillah langkah
Dan tak ada pilihan lain
Hujan,
Telah kau banjiri segenap tubuh negeri ini
Telah berapa keringat yang kau kucurkan
Apa kau juga akan membunuh dirimu sendiri
Sementara itu, Puteri Mawar begitu terpesona dengan setiap bait mantra. Puteri tak sadar, bahwa sebenarnya yang dibacakan Pawang Hujan itu adalah puisi. Ya, sedang Puteri Mawar begitu menyukai puisi. Puteri Mawar hanyut, dan Pawang Hujan itu terus saja membacakan mantranya.
Hujan,
Lihatlah sekuntum mawar di taman mimpi
Wajahnya pucat, mengharap sapa matahari
Apa kau tak sayang
Rupanya Pawang Hujan melihat keterpesonaan Puteri Mawar pada Mantra yang dibacakannya. Karenanya dia menambahkan kata “Mawar” pada mantranya. Puteri Mawar kian hanyut.
Hujan,
Aku katakan padamu bahwa mawar itu begitu semerbak
Hingga jiwaku diharumkannya dengan rekahan senyum yang menggila
Apa kau juga tak faham betapa inginku menyuntingya
Hujan,
Berhentilah melapadz rintik, peluklah hari-hari
Biarkan matahari menyala dalam hati
Tiba-tiba hujan mulai terlihat reda secara perlahan, guntur dan halilintar pun mulai menghilang. Betapa girang hati Raja dan puteri Mawar. Pawang Hujan semakin percaya diri. Dipilihnya diksi yang benar-benar terpilih untuk melanjutkan Mantra Hujannya.
Hujan,
Jika kau teduhkan jiwa dengan gerakmu
Maka berikan ketenangan di wajah mawar
Usirlah murung
Jangan lagi kau biarkan hati bertarung
Hujan,
Kembalilah
Hujanpun berhenti, betapa bangga hati si Penyair. Keyakinannya akan syair bisa menghentikan hujan itu, benar-benar nyata. Langit mulai terang, awan beranjak perlahan membuka pintu langit. Terlihat biru, seperti wajah mawar yang kegirangan karena tiada lagi gelap. Raja tepuk tangan, dengan sumringah dan hati gembira, disalaminya Pawang Hujan.
“Kau hebat, Anak muda!”
Pawang Hujan itu hanya tersenyum. Sembari menatap Puteri Mawar yang sedari tadi merunduk karena terpukau dengan Mantra Hujan, Pawang Hujan itu berkata kepada sang Raja;
“Tuan Raja, sesuai dengan perjanjian kita, maka aku akan meminta imbalannya.”
“Silahkan, anak muda, kamu boleh meminta apapun! Kamu mau apa, emas dan berlian? Tanah? Harta dan kekayaan apapun terserahmu, anak muda!!”
“Nikahkan aku dengan Tuan Puteri Mawar!!”
“Kamu mau menikah dengan puteriku?” setengah kaget, Raja menjawab.
“Ya!!”
“Baiklah, akan aku nikahkan kau dengan puteriku hari ini juga. Puteriku, apa ananda bersedia menikah dengan Pawang Hujan…”
Dengan tersipu malu dan hati girang tiada terkira, puteri menjawab; “Aku bersedia, Ayahanda…”
Menikahlah Pawang*Hujan dan Puteri Mawar. Dengan pesta besar-besaran yang dirayakan oleh seluruh warga negeri mimpi. Negeri itu lalu makmur, semakmur hati Puteri Mawar. Mereka hidup bahagia, dan Negeri Mimpi kembali terang, seterang matahari dan bulan purnama saat Pawang Hujan dan Puteri Mawar berbulan madu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar