Jumat, 10 Juli 2015

[Fanfic] FOR YOU


Title          : FOR YOU

Fandom    : BORN

Cast          : Ray, Ryoga, K, Tomo, dll (?)

Genre       : General

Rating      : T

Author     : Lycoris

Dibuat dalam rangka ulang tahun Ray



Didorongnya dengan keras pintu studio tempat mereka berempat latihan. Lelaki dengan warna rambut coklat itu kesal, dan lelah. Bagaimana tidak ? 3 jam mereka berada di studio tapi selalu saja salah tempo. Entah itu suara Ryoga yg fals, senar gitar K yg putus, Tomo yg salah tempo, dan lain sebagainya. Belum lagi dia yg sudah menunggu mereka bertiga sejak jam 9 pagi ! sedangkan Ryoga, Tomo, dan K baru muncul pukul setengah 1 !
“Tjh !” Ray mengumpat pelan sembari keluar dari studio. Membanting pintu kayu yg membuat ketiga temannya terdiam.
Di pakainya kardigan tipis perpaduan warna hitam dan abu-abunya sembari dia jalan. Karena tidak mungkin sekarang dia memakai jaket tebal kan ? Jepang tengah dilanda musim panas.
Tidak ada yg berani menanyai ataupun menyapa Ray begitu dia berpapasan dengan beberapa staff studio. Tidak ada. Mereka tau, jika Ray keluar dengan wajah datar tanpa lengkungan tipis senyumnya berarti dia sedang marah besar. Apalagi ditambah tidak adanya teman-teman satu bandnya di sekitarnya –karena kebiasaan BORN setiap selesai latihan pasti akan keluar bersama.
Begitu lelaki itu keluar dari gedung dihirupnya udara musim panas. Berjalan ke kanan menyusuri trotoar yg dipenuhi oleh para pejalan kaki sepertinya.
.
.
“Woi woii sepertinya dia marah sungguhan.” Ryoga berkata pelan kepada kedua temannya yg hanya menatap punggung sang leader sampai menghilang, meninggalkan pintu studio yg bergetar karena didorong dengan kuat.
Tomo mengecek symbalnya, “Bukankah itu tujuan kita. Membuatnya marah.”
Aho ! kau tau kan dia kalau marah susah untuk diredakan.” K menatap Ryoga dan Tomo bergantian. “Dia memang jarang sekali marah, tapi sekali dia marah kita akan membutuhkan minimal 3 hari untuk bisa seperti biasa.”
Tomo menghampiri Ryoga, mengambil duduk di sofa kecil berwarna coklat muda. “Apalagi besok malam kita ada live ulang tahun Ray.”
“Ray tidak akan membawa rasa marahnya di atas panggung, meskipun yaaah kau---“ K menunjuk Ryoga yg sedang memainkan tangannya.
“Apa ?” Reflek Ryoga menoleh ke arah si gitaris.
“Meskipun terkadang kau berusaha mendekatinya hanya sekedar memberikan fan service kepada para fans, tapi kau ingat kan yg terakhir ? Ray tidak akan menanggapi. Paling dia hanya akan tersenyum tipis, dan percayalah itu bukan senyum tulusnya.” K mengingat kejadian live bulan lalu yg dengan sengaja Ryoga mendekati Ray kemudian menyentuh dada bidangnya di tengah dia bermain gitar. “Itu saja ketika dia tidak marah, apalagi kalau dia marah.”
“Kau hanya akan mendapat lirikan menakutkannya.” Tomo menambahi.
Ryoga masih diam sambil manggut-manggut menaggapi obrolan kedua temannya. “Mau bagaimana lagi, Ray tidak pernah berubah sejak dulu.”
.
.
.
Ray menegak gelas terakhir sakenya. Sudah 3 botol besar sake dia minum malam itu. Di tempat biasa dia melepaskan stres karena pekerjaannya, sebuah kedai kecil yg berada di dalam sebuah gang sempit. Tak banyak orang yg tau tentang keberadaan kedai sake itu. Bahkan Ryoga dkk tidak pernah mengetahuinya, karena tempat itu adalah tempat rahasia Ray, jika dia sedang stres ataupun banyak pikiran. Lelaki itu memang tidak pernah mengajak temannya sama sekali, dia lebih memilih pergi sendiri serta mematikan seluruh alat komunikasinya. Mengobrol bersama pemilik kedai yg sudah mengenal Ray selama hampir 7 tahun.
.
.
“Nomor yg Anda tuju tidak dapat sihubungi. Mohon tinggalkan pesan setelah----“ laki-laki itu memutus sambungan telponnya. Sudah 3 kali dan jawaban operator perempuan yg ia dapatkan.
“Ck Ray. Kebiasaanmu tidak pernah berubah.” Ditaruhnya keitainya ke saku celana, laki-laki berperawakan sedang itu turun dari bis yang telah membawanya. “Padahal aku kan sudah disini untuk bertemu denganmu dan yg lain.”
Dengan langkah enteng, laki-laki dengan rambut hitamnya itu berjalan. Ia menghirup nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya. “Sudah lama sekali aku tidak merasakan udara malam Tokyo.”
Ia mengambil keitainya lagi begitu ia merasakan benda itu bergetar di saku celananya. Tanpa dilihat lebih dulu siapa yang menghubunginya, ia langsung menyentuh tombol hijau dan mendekatkan keitainya di telinga kanan.
“Hoi !” teriakan dari seberang telpon terpaksa membuatnya menjauhkan keitainya dari telinga. Setelah ia rasa teriakan itu berhenti, lelaki itu mendekatkan lagi keitainya. “Berisik. Bisa tidak kau pelan sedikit, aku belum tuli sampai harus kau teriaki.” Ia terkikik pelan.
Baka, kau sedang di Tokyo kan ?!”
“Ya aku sedang di Tokyo untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepadamu secara langsung meskipun aku telat.” Ia tertawa lagi. Laki-laki itu berdiri di depan sebuah live house, memperhatikan tempat yg dulu sering ia gunakan untuk tampil bersama keempat temannya, dulu.
“Kifumi !” suara yg diseberang telpon berganti. Oh itu suara Tomo, katanya dalam hati.
“Hmn ? Aku tahu kalian pasti merindukanku kan ?” Laki-laki itu, Kifumi kembali berjalan menyusuri trotoar yg tidak terlalu ramai.
“Cepat kesini, kita akan merayakan ulang tahun Ryoga dan Ray bersamamu.” Ujar Tomo bersemangat, tidak mempedulikan K yang tengah berusaha meraih handphone Ryoga.
“Iya iyaa aku akan kesana, tapi tidak malam ini. Aku harus mencari penginapan dulu dan baru bisa menemui kalian besok. Lagipula, anak itu sedang marah ya ? sudah 3 kali aku mencoba menghubunginya tapi sepertinya ia sengaja mematikan handphone.”
Di seberang sana, pada akhirnya sambungan itu Tomo loud speaker agar Ryoga dan K juga mengetahui apa yang tengah Kifumi bicarakan.
“Tentu saja, kami sengaja membuatnya marah.” Ryoga menanggapi, namun segera K sahut, “Itu ide bocah Ryoga. Dan kami hanya mengiyakan.”
Kifumi tertawa sambil berjalan. “Kalian tidak berubah, masih saja membuat seseorang marah tepat sehari sebelum dia ulang tahun. Tapi salah sendiri Ray tidak pernah peka dari dulu.”
“Oleh karena itu, besok kau harus datang di live kami. Kita akan membuat kejutan untuknya dan untuk fans yg merindukanmu.” K berbicara dengan sungguh-sungguh.
Fans ya, Kifumi tersenyum sendiri. Ya memang dia sangat merindukan berdiri di atas panggung bersama Ryoga, Ray, Tomo dan K. Tapi semuanya sudah tidak bisa lagi, ada tanggung jawab yang lebih lebih besar yang sedang ia jalani sekarang.
“Yosh tunggu aku besok di tempat biasa.”
Setelah mengobrol ringan beberapa saat Kifumi pun memutuskan sambungan telponnya. Kembali mencari penginapan yang sudah menjadi langganannya setiap ia ke Tokyo. Sebenarnya ia juga sering menginap di apato teman-temannya, tapi ia tahu pasti sekarang apato ketiga temannya sedang berantakan, lalu apato Ray, tidak mungkin kan dia menginap ke tempat orang yang akan ia berikan kejutan nantinya.
.
.
.
Dengan memegang cup kopi berlabelkan sebuah brand terkenal, Kifumi duduk sambil menghisap rokoknya di sebuah kafe kecil pinggir jalan raya. Tak lama kemudian Tomo muncul yang dibelakangnya terdapat  sosok K.
Setelah melakukan salam khas mereka dan mengobrol sebentar ketiga sekawan itu berjalan meninggalkan kafe itu.
“Aku membayangkan apa yg akan Ryoga katakan kepada Ray nanti setelah insiden kemarin.” Tomo membuka suara.
“Jangan berharap banyak dengan Ryoga, dia pasti hanya akan membuat Ray mengangguk malas.” Ucap K disertai tawa. Ya memang seperti itulah Ray jika sedang marah dan ada Ryoga di dekatnya.
“Dan Ray hanya akan berkata ‘hmn’...” Kifumi menirukan nada bicara Ray jika tengah marah. Mereka bertiga hanya tertawa kecil.

Setelah kurang lebih 10 menit mereka berjalan kaki akhirnya mereka sampai di tempat tujuan.
“Kau tidak apa-apa kan menunggu sampai jam 6 sore disini ?” tanya Tomo
“Aku sudah biasa menunggu, tenang saja. Untuk kalian sukses untuk live malam ini !” Kifumi mengarahkan tinjunya ke Tomo dan K.
“Tentu saja !” K mengikuti gerakan Kifumi yg disusul oleh Tomo.
.
.
.
Ray memejamkan matanya di sudut ruang make-up. Ya, dia masih kesal dengan ketiga temannya. Tapi ia tahu, jika sudah di panggung dia harus profesional. Melupakan semua masalah yang terjadi diantara mereka berempat. Memberikan penampilan terbaik atas nama BORN. Apalagi sekarang adalah ulang tahunnya.
Di sudut lain selain Ryoga, K dan Tomo, terdapat Mio yang sedang dirias, Ibuki yang sedang mengobrol bersama dengan Chobi. Live kali ini memang bukan hanya ia bermain musik bersama ketiga teman satu bandnya. Tapi juga teman-temannya yg lain.

Jam menunjukkan pukul 18:00 saatnya untuk bersiap-siap. Ray bangun dari duduknya setelah berbagi cerita dengan Ibuki. Mereka yang akan tampil berdiri dan membentuk suatu lingkaran, setelah berdoa dan menggepalkan tangan bersama-sama, satu persatu mulai berjalan keluar dari ruangan dan menyusuri lorong untuk ke atas panggung, menemui para fans yang sudah menunggu penampilan mereka.
.
.
.
Setelah membawakan 8 lagu bersama BORN, 3 lagu bersama Ryoga, Ibuki, dan Chobi, serta penampilan solonya, Ray turun dari panggung untuk mengganti bajunya dengan kaos yg sudah disiapkan.
Tanpa ragu, dia naik kembali ke atas panggung menyapa para penggemarnya yang dengan rela sudah mau menonton penampilan sekaligus merayakan ulang tahunnya. Ray menggendong gitar hitamnya sambil mengucapkan rasa terima kasihnya.
“Terima kasih banyak untuk kalian yang dengan rela meluangkan waktu untuk menontonku.” Ray tertawa yang disusul oleh tawa para fans yang kebanyakan adalah perempuan.
“Aku tidak pernah menyangka waktu cepat sekali berlalu, rasanya baru seperti kemarin aku berdiri di atas panggung dan bermusik dengan mereka. Banyak hal terjadi dengan kami, denganku yang tidak semuanya itu mengenakkan. Tapi, selalu ada pihak yang membuatku untuk terus berdiri dan bangkit, dan juga kalian, alasanku untuk terus bermusik.” Ucapan Ray disertai tepuk tangan oleh penggemarnya yang memenuhi live house itu. Tidak lupa juga teman-teman sesama musisinya yang berdiri di belakangnya atau pun yang sedang di backstage.
“Terima kasih dan maaf untuk Tomo, K dan Ryoga  yang meskipun kemarin aku sempat marah besar dengan mereka, tapi tanpa kalian aku tidak akan pernah bisa berdiri di sini.” Ryoga yg berdiri di sebelah Ray langsung merangkul Ray, dan hal itu membuat beberapa penonton berteriak histeris.

Ray terdiam beberapa saat sebelum membuka mulutnya lagi, “Sebuah lagu yang berisi rasa terima kasih untuk kalian semua.”
Ray melirik Tomo untuk mulai memainkan drumnya, Ryoga yang tengah menggengam mic serta K yang mulai memetik gitarnya. Sebuah harmonisasi yang tercipta dari musik yang mereka berempat mainkan. Namun belum selesai intro, nada yang dimainkan berbeda. Ray menoleh ke Ryoga, K dan Tomo dengan tampang bingung. Belum sempat rasa bingungnya selesai, dari sisi kanan panggung terdengar seseorang tengah bernyanyi.

“Happy birthday to Ray, happy birthday to Ray-----“

Ray membulatkan matanya, mengetahui siapa yang muncul dengan membawa sebuah kue tart manis.
“Ki—fumi ?” Ray menghentikan permainan gitarnya. Namun tidak dengan Ryoga, Tomo, K, serta Mio yang tetap melanjutkan, mereka memainkan musik happy birthday untuk Ray.
Begitu Kifumi berjalan ke tengah panggung semua fans pun berteriak. Tentu saja karena mereka sangat merindukan Kifumi. Begitu juga dengan Ray.
Begitu Kifumi berdiri di depan Ray, musik pun berhenti.
“Oi cepat tiup sebelum meleleh.” Ucapan Kifumi hanya ditanggapi dengan tawa dari Ray sebelum dia akhirnya meniup lilinnya.
“Bagaimana ? sudah lega karena marah dengan kami ?” Ryoga tiba-tiba berkata yang disahut oleh K, “Ray-chan selalu saja bisa masuk ke dalam rencana bocah kami.” Kontan saja seisi penonton serta beberapa teman mereka tertawa.
Ray membela diri, “Hoi hoi ! itu aku sengaja membuat kalian berpikir aku marah.”
Kifumi segera menyahut, “Lalu kenapa sampai mematikan handphonemu ? Padahal aku sudah jauh-jauh datang dan ingin langsung menemuimu.”
“Itu untuk melengkapi aktingku.” Ray membela lagi, kali ini ditimpali oleh Ryoga, “Ya yaa sesuka leader sajalah, tapi yang jelas hari ini kau bertambah umur. Semoga apa yang  akan terjadi semakin baik.”
Tomo memberi aba-aba dengan mengangkat stik drumnya, “HAPPY BIRTHDAY RAY-CHAN~~” dan sesisi live house itu pun menggemakan ucapan ulang tahun kepada Ray.
Membuat Ray terharu dan hampir menitikkan air matanya. Semuanya larut dalam kesenangan malam itu, bahkan Kifumi pun pada akhirnya mengangkat kembali bassnya dan memainkan satu lagu bersama dengan Ray, Ryoga, K dan Tomo. Membuat sebuah ulang tahun sang leader menjadi bermakna.


--OWARI--


Yattaaaa akhirnya fic singkat dan gaje ini selesai. maaf leader fic untukmu gaje lagi (?)
pokoknya HAPPY HAPPY HAPPY BIRTHDAY RAY~~ 
doanya sebut sendiri (?)

maaf jika banyak typo(s), bahasa yang aneh, dan segala bentuk keanehan lainnya. author buatnya waktu sedang di kantor /terus


Kamis, 09 Juli 2015

[Fanfic] The End of Winter, The Beginning of Spring


 Title                :The End of Winter, The Beginning of Spring

Part                 : 1 / ?

Author            : Lycoris & ShiKi (https://46ppoi.wordpress.com/)

Genre              : Drama, Angst

Rating             : General

Fandom          : GARNiDELiA & DaizyStripper

Cast                : MARiA, Yuugiri, Kazami, dan beberapa figuran(?)

WARNING       : Random !! Tighten your seatbelts please (?)


–Because we’re not the same anymore—


Kesegaran air mineral mengaliri tenggorokan Yuugiri yang kering karena terus bernyanyi selama dua puluh menit terakhir. Tegukan demi tegukan air ia minum dengan santai sembari memasang telinga pada suara teriakan yang meminta encore. Ah... selain sorakan heboh para penonton saat dia sedang perform, gemerlap lighting yang disetting mengikuti lagu yang mereka mainkan, suara riuh penonton yang meminta encore selalu jadi bagian favoritnya. Suara-suara yang selalu memberinya semangat meski badannya basah bersimbah keringat dan staminanya terkuras karena banyak bergerak.
Yuugiri tersenyum lalu menaruh botol minumnya di meja. Dia segera mengganti kostumnya yang basah dengan kaos tour mereka.
"Sudah siap?" Tanyanya pada keempat rekannya yang lain.
Mereka mengangguk. Sang leader yang poninya lepek karena keringat mengulurkan tangan ke depan. Memberi kode pada yang lain untuk membuat kerumunan melingkar dan saling menyemangati satu sama lain.
"Ayo kita selesaikan!" Teriak Mayu sekuat tenaga.
Yang lain membalas dengan teriakan yang tidak kalah bertenaga lalu beranjak dari ruang ganti melewati lorong sempit live house menuju panggung. Sudah waktunya kembali menyapa para penonton dan memberikan apa yang mereka minta.
Sorakan riuh menyambut saat mereka satu per satu kembali berdiri di panggung. Yuugiri memberi kode pada si drummer bahwa dia sudah siap. Dan encore pun dimulai.

Kedua manik yang tertutup oleh lensa kontak warna biru tua itu tak mengalihkan pandangannya sama sekali. Sosok yang berdiri di atas panggung seakan mengalihkan dunianya sekarang. Riuh suara teriakan yang haus akan hiburan seakan hanya bisikan yang tak ia hiraukan. Dunianya seakan bergerak lambat, kedua penglihatannya hanya terfokus pada satu titik, jadi inikah sosok yang ia cari selama ini?
Mungkin rupa bisa berubah tapi satu yang ia yakini bahwa sorot tajam kedua mata itu akan tetap sama. Akan tetap sama menyejukkan dan membuatnya nyaman.
Ia buka dua kancing teratas jaket berwarna coklat. Rupanya meskipun ia tak ikut berteriak, melompat dan menggerakkan kepala seperti penonton yang di depannya, itu sudah membuatnya kepanasan.Hampir sepanjang konser ia tak tahu lagu apa yang dibawakan bahkan nama dari band yang sekarang sedang ia saksikan baru satu jam yang lalu ia ketahui, DaizyStripper.
“Kau...telah banyak berubah,” katanya pelan tanpa mengalihkan sedikit pun pandangan kepada sang vocalist.

Yuugiri menyemburkan air yang seharusnya ia teguk pada barisan depan penonton yang hampir sama berkeringatnya dengan dirinya dan keempat temannya lalu melempar botol minum yang sudah kosong ke barisan tengah. Setelah menyampaikan terima kasih pada fans dan penonton yang datang, dia kembali menghilang ke balik panggung bersama rekannya yang lain. Kembali ke ruang ganti untuk mengeringkan keringatnya dan beristirahat. Konser mereka hari ini sudah berakhir, tapi sensasi yang terasa di dadanya masih sama seperti biasanya. Sensasi adiktif yang membuatnya merasa tidak ingin berhenti dan turun dari panggung. Tapi yah...
Durasi untuk hari ini sudah berakhir. Tapi masih ada konser lain yang menunggu mereka di lain waktu dan tempat. Yuugiri harus menyimpan tenaganya untuk itu.

"Sudah selesai yaa...”ucapnya pelan, ada nada kekecewaan disitu.
Dilangkahkannya kedua kakinya dengan berat seiring lighting yang mulai meredup dan penonton yang mulai berhamburan keluar.
Sebenarnya jika ingin, ia bisa saja menunggu kepulangan mereka khususnya sang vocalist. Seperti yang dilakukan beberapa fans perempuan yang ia lihat. Tapi tidak, tidak untuk sekarang. Melihatnya dari jauh pun sudah cukup untuk hari ini.
Ia berjanji akan melihatnya lagi di konser-konser yang lain, pasti. Maka dengan langkah enteng ia pun kembali pulang menyusuri Tokyo, kota yang sangat ia rindukan.

-flashback-

-seminggu yang lalu-

Pesawat yang membawanya dari negara kincir angin itu mendarat dengan selamat. Membawa sekitar 250 penumpang termasuk dirinya. Sudah berapa lama ia meninggalkan kota yang terkenal dengan menara Tokyo-nya ini? Ia tak bisa menghitungnya, dan ini menjadikan kunjungan pertamanya setelah kepergiannya meninggalkan negara dimana ia dilahirkan.
"Tadaima, Tokyo...”


"Sumimasen, bias mengantarkanku ke alamat ini?” tanyanya dengan bahasa Jepang yang untung saja masih fasih kepada seorang supir taksi.
"Naiklah, nona.” kata supir taksi itu.
Sebuah koper berukuran sedang telah masuk ke dalam bagasi mobil. Dipeluknya erat tas punggungnya ketika taksi telah meninggalkan bandara.
Diingat-ingatnya kembali bagaimana Tokyo ketika terakhir kali ia lihat, semuanya telah banyak berubah. Di dalam taksi ia berbicara dengan supir itu, menanyakan berbagai macam hal yang menurutnya asing, dengan sesekali mengangguk-angguk dan berucap 'oh'.
Setelah hampir setengah jam dari bandara Narita akhirnya ia sampai di alamat yang dituju. Dikeluarkannya koper dari bagasi taksi. Setelah membayar uang sesuai dengan argo yang tertera, ia membungkukkan badan kesupir yang sudah berumur sekitar lima puluh tahunan.
Bangunan yang ada di depannya inilah yang akan menjadi tempat tinggal sementaranya ketika di Tokyo.

-beberapa hari yang lalu-

"Maria...jika kau ingin kembali lagi, kami akan sangat menerimamu,” suara berat seorang pria dibalik telpon membuat perempuan itu tersenyum.
"Terima kasih, Ayah. Tapi tujuanku belum tercapai disini. Dan aku tidak yakin bisa kembali lagi ke Amsterdam tanpa berusaha dulu disini. Aku...menyayangi kalian. Bye,” Ia pun menutup teleponnya yang diakhiri dengan helaan nafas berat.
***

"Kau baik-baik saja?" Tanya laki-laki bertubuh nyaris gempal sambil memegangi pundak Yuugiri.
Yuugiri sendiri meringkuk di sofa dengan kedua tangan mencengkeram kepala. Mencoba menahan rasa sakit yang menusuk-nusukkepalanya. Hal yang selalu terjadi jika dia sedang kelelahan atau banyak pikiran.
"Bangunlah. Kuantar ke dokter."
Yuugiri menggeleng sambil menggumam tidak jelas. Peningnya begitu menyiksa hingga rasanya kepalanya seperti dipukuli benda tumpul. Dia lebih memilih pereda rasa sakit sekarang. Sayangnya Kazami melarang keras. Dokternya juga tidak mengijinkan. Rasanya sialan sekali. Sebenarnya siapa yang merasa sakit di sini?
"Minum dulu sebentar."
Sial. Bergerak saja susah apalagi bangun? Umpatnya dalam hati.
"Kalau masih belum sembuh juga  sebaiknya kau tidak usah ikut in-store nanti—"
"Jangan bercanda!"
Entah dapat kekuatan dari mana, Yuugiri bangun dan mencengkeram lengan Kazami sembari memasang wajah antara menahan sakit dan kesal. Membuat air di dalam gelas tumpah berceceran di sofa dan lantai.
"Oi... tenanglah sedikit..." Kazami menaruh gelas yang dipegangnya di meja lalu duduk di samping Yuugiri, "Kalau kau datang menemui fans dengan keadaan tidak fit begini, hanya akan membuat mereka khawatir. Istirahat saja sampai kau merasa baikan."
"Setidaknya berikan aku obat pereda rasa sakit atau apalah," kata Yuugiri dengan wajah ditenggelamkan di antara kedua lututnya.
Kazami hanya mengulas senyum meski dia yakin teman satu apatonya itu tidak melihat. "Bertahanlah sampai Sakai-sensei datang," katanya sebelum berdiri dan menyambar telepon di seberang ruangan.
Yuugiri kembali menggumam tidak jelas. Kalau bisa, Yuugiri lebih memilih memotong kepalanya sekarang supaya tidak perlu merasakan rasa sakit tidak berguna yang terus menerus menusuk-nusuk kepalanya tanpa henti sejak tadi pagi. Maka dia kembali menggulung badannya di sofa sambil mencengkeram kepalanya seolah jika dia melakukan itu, rasa sakitnya akan menghilang.

***

Sembari merebahkan tubuhnya di kasur, Yuugiri menscroll timeline Twitter-nya dengan jengkel. Ada tweet yang berisi update tentang in-store event hari ini dari staff dan teman-teman sebandnya.
"Mereka bersenang-senang tanpa mengajakku," kutuknya dalam hati.  Dan kutukan itu semakin menjadi saat Yuugiri membaca tweet sialan Kazami.

'Terima kasih untuk yang sudah datang (^o^)
Yugi-kun juga tetap bersemangat ingin bertemu kalian semua meski tidak bisa hadir hari ini loh'

Kutukannya juga melayang pada guyonan sang gitaris, Nao, sebagai balasan dari tweet Kazami.

'Saking semangatnya sampai tepar haha'

"Ah, terserah!" Yuugiri melempar iPhone-nya ke samping hingga memantul di kasurnya yang empuk lalu mengubah posisinya. Dia ingin kembali menemui para fans yang selalu menjadi dopamine-nya secepatnya.
.
.
Dengan langkah kaki yang berat disertai helaan nafas berkali-kali Maria keluar dari salah satu toko musik terbesar di Tokyo. Jelas sekali raut mukanya menggambarkan kekecewaan. Bagaimana tidak, alasan utama yang membuatnya ke tempat itu ternyata tidak ada.
Yuugiri tidak ada, ia harus berkali-kali melihat ke arah para member tadi untuk memastikan keberadaan Yuugiri, tapi dia benar-benar tidak ada. Jadi tanpa menunggu event itu selesai pun ia meninggalkan tempat itu. Rasanya akan percuma jika ia berlama-lama di sana.
Dan sekarang ia sudah duduk di kursi sebuah taman. Tidak tau kenapa kakinya bisa sampai di situ, padahal perempuan berambut pink itu tidak hafal jalan di Tokyo. Selain itu taman ini sangat jauh dari keramaian kota.
Cukup lama ia duduk sembari melihat ke beberapa anak kecil kira-kira berumur lima sampai sepuluh tahunan yang sedang bermain di ayunan, bak pasir dan seluncuran. Ia tersenyum-senyum sendiri melihat tingkah mereka.
Tunggu dulu, rasanya...ini begitu familiar.
Bukan karena ia sering melihat anak kecil bermain-main di sekitar rumahnya di Amsterdam...
Tapi...tempat ini...Ya, tempat ini. Beberapa kepingan ingatan yang tersembunyi itu kini muncul di depannya. Dengan sigap ia berdiri dari kursi kayu, kedua maniknya ia edarkan di sekitar taman.
Seperti orang linglung, Maria berjalan atau lebih tepatnya setengah berlari keluar dari taman yang tak begitu besar—seakan ia dituntun untuk menuju suatu tempat. Tak seberapa jauh dari taman ia melihat sebuah bangunan. Cat yang sudah mengelupas, rumput yang sudah tumbuh panjang, daun-daun gugur yang memenuhi halaman depan, dan jendela yang sudah rusak. Seakan menunjukkan bahwa bangunan itu lebih mirip rumah hantu.
Maria terdiam. Dengan kaki yang seakan ditanam ke dalam tanah ia memperhatikan bangunan itu.Hingga tak terasa setitik air mata jatuh disertai sebuah senyuman yang terlihat seperti senyum kerinduan.

***

Pagi itu Yuugiri menyeruput espresso yang masih beruap dengan santai. Dia menggedikkan kepala agar poni sedagu yang menutupi sebelah matanya tersingkap ke samping. Lalu, kedua mata yang sudah tidak terhalangi rambut itu menangkap bayangan samar dirinya di kaca konbini yang tembus pandang. Memperlihatkan rambutnya yang sudah hampir sepunggung. Yuugiri memilin ujung rambutnya. Tidak sedikit yang mengatakan bahwa rambutnya sudah tumbuh terlalu panjang—Rei, sang bassist, yang paling sering protes. Tapi dia masih menyukai rambutnya yang seperti ini. Agak mengganggu memang. Dia jadi harus membawa ikat rambut kemanapun jika tidak ingin kegerahan. Dan mungkin juga karena rambutnya belum pernah sepanjang ini, dia jadi sayang untuk memotongnya.
Lalu, sementara Yuugiri sibuk dengan rambutnya, dia tidak menyadari ada sepasang manik bulat yang memperhatikannya dari luar konbini.

Gadis itu, Maria, tidak sadar sudah hampir lima menit ia memperhatikan lelaki itu dari balik kaca sebuah konbini. Mana mungkin dia bisa berpaling, lelaki itu begitu dekat. Hanya berjarak kurangdari tiga meter meskipun terhalang oleh kaca tembus pandang.
Seakan waktu terhenti, ia terus menatap lelaki berambut sepunggung yang tengah menyeruput kopinya yang entah itu rasa apa, ia tidak peduli. Karena semua indranya terfokus pada satu makhluk yang menjadi alasannya untuk kembali ke Jepang.
Ia tidak sadar hingga Yuugiri melihat kembali ke arah Maria. Dengan gugup ia pun segera membuang pandangannya. Kini yang ada di pikirannya adalah ia harus pergi dan menghindar atau tetap diam disitu kedinginan menunggu si vocalist  menghampirinya.

Sesosok perempuan bertubuh kecil menatap Yuugiri dari balik kaca konbini dengan pandangan... takjub? Jalanan di depan konbini tidak seberapa terang, tapi rambut panjang si perempuan yang dicat pink menarik perhatian matanya tanpa sengaja. Entah sudah berapa lama dia di sana. Anak perempuan itu membuang muka setelah sadar Yuugiri juga menatapnya. Mungkin fans, pikir Yuugiri.
Dia kembali menyeruput espresso-nya seolah tidak terjadi apa-apa. Kalau memang fans, mungkin detik berikutnya dia akan masuk ke konbini dan dengan gugup bertanya padanya. Yuugiri menyunggingkan senyum setengah seringai sebelum menaruh cup espresso-nya di meja. Baiklah, dia akan menunggu reaksi perempuan itu selanjutnya.
Maria menggigit bibir pelan —bukan karena merasakan udara dingin di bulan Februari. Ia masih ragu, menghampiri lelaki itu atau pergi begitu saja. Jika menghampirinya, ia tidak tahu harus berkata apa. Ia bukan fans dari bandnya yang mungkin bisa berbicara banyak hal dengan Yuugiri. Namun jika pergi, ia juga tidak tahu kapan lagi bisa menemukan kesempatan seperti ini.
"Apa yang harus aku lakukan....”ia bergumam lirih dan membalik badannya. Mengatur nafas dan detak jantungnya.
Sementara itu, kedua mata Yuugiri masih memperhatikan Maria yang sekarang mulai terlihat sedang melakukan perang batin dengan dirinya sendiri. Ada sekelebat dorongan untuk menghampirinya lebih dulu. Tapi dia hanya membawa kacamata berframe hitam untuk menyamarkan wajahnya. Lagipula percuma, anak perempuan itu sudah mengenali wajah Yuugiri.
Di seberang sana, si anak perempuan rupanya sudah membulatkan tekat. Ya, menemui Yuugiri. Lagipula ia sudah tidak memiliki banyak waktu lagi. Segera ia membalik badannya dan bersiap untuk masuk konbini.
Namun...

BRUAK!

Maria menabrak sesuatu atau...seseorang.
"Gomennasai! Gomennasa—''reflek ia mun dur dua langkah dan membungkukkan badannya kemudian mendongakkan kepala.
"Eh?'' Dan waktu di sekitarnya seakan membeku dan terhenti.

Sampai kapan anak itu mau perang batin? Batin Yuugiri kesal. Sudah hampir sepuluh menit tapi anak itu tidak juga bergerak dari posisinya. Yuugiri berdiri setelah membuang cup kosongnya ke tempat sampah, mengambil tasnya, memakai kacamatanya lalu keluar dari konbini. Tapi baru tiga atau empat langkah, seseorang menabrak Yuugiri dan kalang kabut meminta maaf.
"Daijoubu?" tanya Yuugiri karena tubuh orang yang menabraknya jauh lebih kecil. Lalu baru disadarinya ketika orang itu mendongak, rambutnya dicat pink.
Oh, anak perempuan tadi.
"Daijoubu? Ojou-san," tanya Yuugiri lagi pada si anak perempuan yang kini membatu di depannya.
Maria segera sadar begitu ia mendengarkan suara Yuugiri. "A-a, daijoubu desu...'' ia mundur dua langkah dan membungkuk lagi—mungkin ini cara untuk menghilangkan rasa gugupnya.
Yuugiri terus memperhatikan Maria.
"Anou... bukannya aku mau ikut campur, tapi apakah kau sedang banyak pikiran? Kuperhatikan sedari tadi kau seperti orang hilang. Bisa berbahaya loh kalau berjalan di tempat ramai seperti ini dengan pikiran yang tidak berada di tempatnya," Yuugiri mengulas senyum yang sepertinya membuat anak itu terlihat semakin gugup.
Perempuan yg tengah memakai mantel berwarna abu-abu muda dan scarf hitam itu mencoba berkata lagi, tapi percuma. Bibirnya seakan terkunci rapat. Ia menarik nafas, mencoba menghilangkan kegugupannya. Dengan senyum dan raut 'wajar'nya, ia menghadap lelaki yang lebih tinggi darinya itu.
"Aku tidak apa-apa, maaf sudah membuatmu khawatir, dan—“ Maria menggantung kata-katanya, ditariknya nafas dan dihembuskannya dengan tenang, “Akhirnya kau bisa melihatku...'' sebuah senyum tulus tersungging di bibirnya, seakan sebuah senyum yang menggambarkan kelegaan.
Ia membungkuk, memutar badannya dan berjalan menjauhi Yuugiri.
"Hah?" Yuugiri menatap keheranan punggung anak perempuan tadi yang mulai menjauh dan menghilang di antara kerumunan. Ah, mungkin fans yang sudah lama ingin bertemu, pikir Yuugiri sembari memutar langkahnya menuju gedung apartemennya yang berjarak sekitar sepuluh menit jalan kaki daritempatnya sekarang.
Sambil berjalan, dia menghirup napas dalam-dalam. Dan detik berikutnya dia menyesal.Yuugiri langsung bersin karena udara Tokyo yang masih dingin.

Semenit kemudian Maria tersadar.
"Baka! Harusnya aku memperkenalkan diri, dan...dan...dan aaaarrgh! Maria kau bodoh sungguh bodoh!'' Maria merutuki kebodohannya sendiri.
Ia berbalik dan mencoba mencari sosok Yuugiri lagi, tapi...tidak ada. Sosok itu sudah hilang di tengah orang-orang yang berlalu lalang.
"Maria...kau benar-benar bodoh...” ujarnya pelan.

"Tadaima~" kata Yuugiri pada dirinya sendiri setelah masuk keruang apartemen minimalis miliknya. Tidak ada banyak barang di ruang tamunya. Hanya sofa, meja, televisi, sound system, beberapa rak dan beberapa pot kaktus kecil di dekat pintu kaca menuju balkon. Dia melepas sepatunya di genkan lalu menuju kamar pribadinya kemudian menaruh tas dan jaketnya sembarangan di atas kursi kayu di samping tempat tidurnya. Yuugiri menguap. Dia lelah setelah beraktifitas seharian. Dia harus memulihkan tenaganya untuk live besok. Dia ingin cepat mandi dan tidur.
.
.
Maria kembali berdiri di belakang. Menikmati setiap dentuman musik keras yang tidak terlalu ia pahami. Tapi karena ada Yuugiri yang sedang bernyanyi dan mengitari panggung kecil live house itu makanya ia rela menonton. Ia sudah hampir jatuh jika saja ia tidak berpegangan kepada tiang yang ada disebelahnya. Apa fans perempuan di sampingnya ini tidak tahu ada Maria hingga seenaknya mendorongnya—entah itu sengaja atau tidak—ke samping.
"Ah, benar juga...” ia tersenyum masam.
Ia kembali terfokus kepada aksi Yuugiri dipanggung setelah berhasil berdiri dengan tegap.
"Ne, kau benar-benar telah berubah sekarang....''

Yuugiri berheadbang penuh semangat. Membiarkan rambutnya terkelulai mengikuti gerakan kepalanya kemudian mengayunkan lengannya kepada lautan fans di live house, memberi kode pada mereka untuk moshing mengikuti arahan tangannya. Dia juga memasang senyum lebar sambil bernyanyi. Selalu ada perasaan menyenangkan saat dia melakukan itu di atas panggung. Perasaan yang terus mendorongnya agar tidak berhenti.
Ia menarik napas. Bersiap-siap melakukan scream panjang sebelum lagu selesai. Yuugiri akan meneriakkannya sekuat tenaga hingga suaranya menggema di langit-langit live house, lalu kembali menghujam ke bawah menuju hati para penonton yang datang. Mungkin saat ini ada penonton yang baru pertama kali melihat mereka, mungkin juga untuk yang terakhir kali. Kalimat itu selalu tertanam di hati Yuugiri. Memberinya motivasi untuk terus menampilkan yang terbaik pada mereka yang baru atau pun yang sudah lama mengenal DaizyStripper.
Lagu mereka berhenti begitu Yuugiri mengakhiri screamnya. Disusul dengan teriakan antusias dari penonton yang datang.
Ia tersenyum lebar. "Yah, sepertinya kami akan beristirahat sebentar sebelum memeluk kalian dengan keringat yang bersimbah," katanya kemudian tertawa.
Sorotan lampu live house berganti ke arah penonton. Membiarkan panggung berpencahayaan remang-remang agar dia dan rekannya bisa bersiap untuk agenda setelah ini. Hug event yang rutin diadakan setiap Hari Valentine.

Dilihatnya antrian yang memanjang. Maria ragu apakah ia ikut mengantri untuk event 'pelukan' ini atau tidak. Lagi, ia harus bergulat dengan pikirannya sendiri. Ikut atau tidak.
Tapi disinilah dia sekarang, berada di tengah antrian para fans perempuan yang berjubel untuk mendapatkan pelukan dari para member. Tentu saja ia akan memilih Yuugiri, sang vocalist yang sekarang disertai peluh memeluk fans-fansnya. Kalau boleh berkata, Maria merasa iri dengan para fans --bukan orang biasa sepertinya-- yg bisa bercakap-cakap dengan lepasnya dengan Yuugiri. Tapi apa boleh buat, Yuugiri memang seorang artis disini, dan satu yang membuatnya semakin kecewa, sepertinya Yuugiri sama sekali tidak mengenali Maria ketika insiden tubrukan badan itu terjadi kemarin.
Memang pada awalnya ia sama sekali tidak ada niatan untuk memeluk Yuugiri, ia hanya ingin sekali lagi bertatap muka dengan lelaki itu dan mengatakan namanya.
Diperhatikannya Yuugiri dengan seksama, laki-laki yg terpaut umur 10 tahun darinya itu tengah tersenyum lebar meskipun raut wajahnya terlihat letih.
Tinggal tiga orang lagi dan ia akan berhadapan lagi dengan Yuugiri.

Yuugiri tidak menghitung lagi berapa banyak orang yang dipeluknya. Yang ada di pikirannya sekarang adalah bagaimana dia bisa berbagi kehangatan dan kebahagian kepada deretan pengunjung—yang mayoritas perempuan—yang mengantri panjang.  Dia terus tersenyum lebar sambil memberi semangat dan mengucapkan terima kasih karena sudah datang. Lalu, setelah memeluk seorang fans perempuan yang mengaku datang jauh-jauh dari Nagoya, muncul sosok tidak asing melangkah ragu-ragu mendekatinya.
Lelaki itu mencoba mengingat, "Kau kan... yang kemarin?" Katanya akhirnya pada sosok berambut pink di depannya.
Seperti sebuah sulap, keraguan serta kegugupan Maria hilang ketika Yuugiri berkata kepadanya. Reflek ia memandang kedua mata yang tertutup kontak lensa coklat.
Maria tersenyum simpul dan mengangguk, "Apakah disini aku harus memelukmu ?''
Yuugiri tertawa kecil menanggapi kalimat polos Maria, "Aku yang akan memelukmu," tanpa aba-aba, Yuugiri langsung merengkuhkan lengan pada tubuh kecil Maria yg berada di depannya lalu menepuk punggungnya beberapa kali sebelum melepaskannya dan memberi kesempatan pengunjung lain untuk mendapatkan pelukannya.
"Datang lagi ya!" tambah Yuugiri.
"Etto, namaku...Maria tolong diingat yaa.'' Maria tersenyum dan membungkukkan badannya singkat.
"Ah iya, aku berharap bisa mendengarkan lagu Misery. Jaa...” ia undur diri dan berjalan menjauh.
Kening Yuugiri berkerut. Seingatnya, staff dan member lain belum memberitahukan tentang encore kejutan yang—entah kebetulan atau apa—salah satu setlistnya adalah Misery milik Hide. Lalu tiba-tiba seorang anak perempuan memintanya mengingat namanya dan meminta lagu favorit Yuugiri itu dinyanyikan.
"Maria ya..."
Tapi perhatiannya segera teralihkan pada pengunjung lain yang sudah mengantri.

Gadis itu kembali berdiri di tempat asalnya tadi. Ia tersenyum sendiri, rasanya lega sekali ia akhirnya bisa berbicara dengan Yuugiri. Yuugiri memang banyak berubah tapi satu yang tetap sama, sorotan kedua matanya yang selalu bisa membuat Maria merasa hangat.
Lighting tiba-tiba meredup dan satu persatu member band pun memasuki panggung lagi. Segera ia terfokus kembali kepada Yuugiri. Ya, hanya Yuugiri.
"Ah, rasanya baru tiga menit berada di sini," Yuugiri tertawa, diikuti teman-temannya dan beberapa penonton. "Entah sudah berapa kali aku mengatakan ini... AKU MENCINTAI KALIAN!"
Sementara Kazami memukul drumnya bersamaan dengan teriakan Yuugiri, mata Yuugiri menyusuri deretan penonton di depan panggung. Lalu matanya menangkap sosok berambut pink, mencolok di bagian paling belakang kerumunan. Berdiri sejajar dengan posisi Yuugiri berdiri. Sedang memandang ke arah panggung dengan ekspresi antara bahagia dan... sedih.
"Saa! Karena ini hari spesial, kami ingin membawakan lagu spesial juga. Bukan lagu kami sendiri, tapi... setiap orang pasti punya orang yang membuat mereka bersyukur telah dilahirkan, bukan? Sayangnya... tidak semua dari kita bisa menyampaikan rasa terima kasih kita lewat kata-kata. Hari ini, lewat lagu ini, semoga kalian semua bisa mengungkapkan rasa terima kasih pada orang yang kalian cintai..."
Yuugiri memberi kode pada Kazami yang sudah menyesuaikan duduknya di depan keyboard.
"Hide-san... Misery..."
Di ujung belakang kerumunan penonton, Maria terkejut. Lagu itu.....
Baru beberapa menit yang lalu ia berkata kepada Yuugiri bahwa ia ingin mendengarkan lagu Misery, dan sekarang....
Dengan ekspresi antara bahagia, dan terharu ia memperhatikan dentingan piano serta suara tinggi Yuugiri. Seakan semuanya kembali lagi ke masa lalu.


"Jangan menangis lagi, Mai-chan."
“Hiks hiks....”
"Baiklah kalau begitu,  aku akan menyanyikan sebuah lagu untukmu, ini adalah lagu favoritku."

Tak terasa pipi yang bersapu blush on pink itu basah oleh air mata yang turun secara perlahan.

Sudah selesai.
Lagu terakhir sudah mereka bawakan. Yuugiri bersama keempat rekannya kini berdiri di tepi panggung untuk melakukan ritual rutin mereka setiap selesai one-man, saling bergandengan tangan lalu membungkuk bersamaan kepada para penonton lalu melompat dan berteriak, "Otsukare~ sampai bertemu lagi!"
Lighting meredup. Mereka turun ke backstage bergantian dengan teratur. Kecuali Yuugiri. Dia buru-buru turun lebih dulu dan meminta—lebih tepatnya memaksa—salah satu staff untuk mencari seseorang. Maria. Yuugiri harus bertemu dengan perempuan itu untuk menanyakan sesuatu.
Namun di sisi lain, segera setelah lighting padam, dan member sudah meninggalkan panggung, Maria bergegas membereskan jaket tebalnya serta tasnya. Ia berjalan keluar dari live house dengan langkah tenang. Paling tidak sekarang sedikit demi sedikit tujuannya tercapai. Bahkan ia sampai tidak menyadari bahwa ada salah seorang staff tengah yang mencari-carinya dibelakang.

"Saya tidak bisa menemukan orang yang Anda maksud." Yuugiri menghela napas lalu menyuruh si staff kembali ke pekerjaan awalnya.
Cepat sekali dia pergi, pikir Yuugiri. Sekarang bagaimana caranya menemukan Maria lagi? Yuugiri kembali menghela napas lalu duduk di sofa dan mengeringkan keringatnya dengan handuk.
"Akhirnya kau bisa melihatku..."
Kalimat itu terus menganggu Yuugiri saat dia mulai menghapus make-upnya. Kalau memang Maria hanya sekedar fans yang sudah menunggu lama untuk bisa bertemu Yuugiri, dia seharusnya mengatakan "Akhirnya aku bisa melihatmu", bukan sebaliknya.
Atau mungkinkah Maria fans yang datang dari luar negeri sehingga grammarnya sedikit berantakan? Mengingat wajahnya yang tidak terlalu keJepangan? Atau...
Seseorang dari masa lalu Yuugiri...
Kepala Yuugiri mulai berdenyut.
Ia menaruh kapas kotor di meja, membiarkan wajahnya setengah bersih lalu menyambar ponselnya untuk mendial nomor yang berada paling atas di daftar kontaknya. Yuugiri menempelkan ponselnya di telinga sambil menunggu teleponnya diangkat.
"Halo, mama..." kata Yuugiri begitu terdengar kata ‘halo’ dari speaker teleponnya.
"Ada apa, Yugi-kun?" tanya ibunya lembut dan penuh perasaan.
"Apa aku dulu punya teman bernama Maria?"
"Maria?" terdengar nada heran di suara ibunya. "Seingat mama tidak ada. Ada apa?"
Yuugiri terdiam lama.
"Yugi-kun?"
"Ah, tidak apa-apa. Hanya ingin bertanya... baiklah, kalau begitu. Aku akan menelepon lagi nanti."
"Baru selesai live ya? Sampaikan salamku pada teman-temanmu."
"Un... terima kasih, mama," Yuugiri mengakhiri teleponnya. Seiring dengan kepalanya yang kembali berdenyut sakit.
Maria itu siapa?

--End of Part 1--



Hwahahahahahaha akhirnya bisa dipublish meskipun ini fic kelarnya dari jaman kapan tau, hasil duet kedua bersama si ayam lover(?) ShiKi. Maaf ya atas segala kegajean dan ketidak jelasan. berbagai kendala telah dihadapi demi kelarnya ini fic dan sampai fic ini dipublish. Terima kasih untuk lagu-lagu galo(?) selama pengeditan dan percakapan random yg terkadang mewarnai plotting gaje kita selama di WA *ketjoep sampe penyet ShiKi* (?)

Terima kasih untuk yg sudah membaca. nantikan part-part berikutnya yg tak kalah gajenya. 
Salam hangat penuh rahmat

Lycoris 


About